Menulis, Membangun Sebuah Peradaban
Seperti yang telah saya singgung pada pengantar tema
tulisan kali ini, bahwasanya disamping menulis menjadi semacam system
fondasional bagi ke-dirian manusia, menulis juga berperan bagi terbentuknya
sebuah peradaban keilmuan. Hal ini bukan hanya sekedar wacana untuk
membesar-besarkan pembahasan tentang menulis ini, akan tetapi hal itu telah
menjadi fenomena faktual bagi beberapa peradaban besar di dunia, Sebut saja
peradaban china dan yunani. Kedua peradaban tersebut dikenal sebagai peradaban
awal yang kemudian memunculkan peradaban-peradaban besar lainnya. Tentu, yang
menjadikan mereka sebagai peradaban besar tak lain adalah proyek literasi yang
mereka tekuni. Dan tak heran jika pada masa kepemimpinan khalifah Harun
Ar-Rasyid, dimana islam mulai menggadang-gadang untuk menjadi salah satu
peradaban besar di dunia, haruslah dimulai dengan meningkatkan tradisi keilmuan
dan mengembangkan tradisi literasi tersebut. Buku-buku yunani dan beberapa peradaban
besar lainnya diterjemah, dibahas dan dikaji oleh para ilmuan muslim lalu
ditulis lagi sebagai sebuah keilmuan baru dalam tubuh islam. Dengan begitu, tak
lama kemudian islam pun menjadi peradaban besar yang gemilang, yang mencapai
masa keemasannya pada saat keilmuan memang benar-benar ditradisikan secara
murni dan sungguh-sungguh, salah satunya dengan karya-karya yang diterbitkan
para ilmuan muslim.
Di Indonesia, pesantren dan kaum santrilah yang memegang
peran dalam tradisi menulis tersebut, peradaban pun mulai dibangun. Dimulai
dari misi walisongo untuk melakukan islamisasi di tanah nusantara di
daeran-daeran pesisir, terutama Demak. Disinilah para actor tersebut
memperkenalkan tradisi tulis-menulis dan keberaksaraan kepada masyarakat awam,
lalu membentuk sebuah peradaban yang berbasiskan hasil-hasil laut. Lalu, arah
misi pun berkembang ke daerah-daerah pedalaman yang berbasiskan kehidupan
agraris. Yakni dengan mengandalkan pertanian, cocok tanam, hasil hutan dan
semua kekayaan yang berasal dari alam. Karena, menurut logika walisongo pada
saat itu, daerah pedalaman adalah jantung kehidupan sebuah peradaban umat
manusia. Dengan hanya mengislamisasi penduduk daerah pesisir yang mengandalkan
hasil laut, mustahil sebuah peradaban yang langgeng akan terwujud, karena
memang masyarakat pesisir sangat bergantung kepada masyarakat di pedalaman yang
menghasilkan beras untuk mereka makan. Oleh karena itu, tradisi tulis-menulis
juga diperkenalkan di wilayah pedalaman dengan actor utamanya Sunan Kalijaga.
Gerakan keberaksaraan dan kelisanan mulai digalakkan,
baik pengajaran yang dilakukan walisongo kepada masyarakat, maupun kontinuitas
walisongo dalam membuat karangan kisah-kisah. Dengan begitu walisongo
menciptakan sebuah perpaduan yang harmonis diantara dua peradaban kosmopolit
ini. Strategi-strategi inilah yang mengantarkan walisongo sukses dalam
menciptakan suatu masyarakat yang berlandaskan kepada tradisi pesantren,
berguru kepada kyai dan ngaji kitab, serta perlindungan terhadap sumber-sumber
kehidupan umat manusia. Peradaban itu oleh walisongo dibangun dari dua pilar
sekaligus: kelisanan (bahasa) dan keberaksaraan (tradisi tulis-menulis).
Menulis: Berperang Melawan Diri
Sendiri
Akhirnya, setelah semua pembahasan selesai diuraikan.
Setelah sedikit demi sedikit kesadaran kita mulai terbuka akan pentingnya
menulis, semuanya pun akan kembali kepada diri kita sendiri. Sebenarnya tidak
mesti dalam kegiatan menulis ini kita harus berperang dengan diri kita sendiri.
Semua hal-hal yang baik pun juga berpotensi menyulut peperangan yang disebut
Rasul sebagai peperangan yang lebih besar daripada perang badar ini. Tak lain
adalah berperang melawan hawa nafsu kita sendiri.
Menulis memang sebuah kegiatan yang sangat membutuhkan
ketekunan dan kesabaran. Karena itu dibalik keinginan kita untuk menulis, telah
berdiri dua ribu infantri pasukan setan berani mati yang dengan sekuat tenaga
akan menghalangi kita akan terwujudnya keinginan itu. Sering digambarkan
bahwasanya manusia memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi buruk, sebagaimana
juga yang diyakini oleh Anne Frank. Kalau boleh digambarkan, di sisi kanan
manusia terdapat seorang malaikat yang selalu mengajak dan mendukung kepada
hal-hal yang baik serta bermanfaat, di sisi lainnya terdapat setan dengan tubuh
merah lengkap dengan kedua tanduknya, mendenguskan hawa panas dan tak lupa
memegang tongkat serupa dengan tongkat yang dimiliki Poseidon (terkadang saya
bingung. Tongkat itu sebenarnya milik setan atau milik Poseidon?, atau memang
menjadi setan itu adalah kerjaan sampingan Poseidon?. Entahlah!), yang selalu
mengajak manusia untuk menolak, menghiraukan ajakan si malaikat lalu
mengerjakan kejelekan seperti yang disarankan olehnya.
Disinilah manusia atau kita, dalam istilah yang sering
disebut oleh Kyai Ahmad Baso berada dalam titik‘azmah atau masa krisis. Yang menentukan
hasil akhirnya adalah kita sendiri sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan
kehendak bebas. Jika kita bersikap cermat, lalu menjadikan masa kriris itu
sebagai pijakan untuk mencapai I’adatut
ta’sis, maka keberhasilan akan menari-nari dihadapan kita dan
menunggu untuk kita raih. Sebaliknya, jika kita menyikapi krisis itu dengan
menuruti si setan merah, menyikapi hal tersebut sebagai sebuah kelemahan dan
ketidak berdayaan kita selaku manusia, maka keberhasilan pun akan menjauh
sembari meludahi wajah kita, lalu ia berteriak mencaci, “bodohnya kau wahai
manusia. Jhuiih,,!”. Si malaikat putih membisikkan, “apa aku bilang manusia ?!
matilah kau sekarang”. Si setan merah berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangannya,
“aku menang,, aku menang,, hahaha”.
jadi, masihkah ada alasan untuk kita
tidak menulis ??
“We are the champion my friend, and
we’ll keep on fighting till the end” -Queen-