Menulis Sebagai Bagian Dari Berjuang[7]
Setelah menyadari bahwasanya menulis merupakan bagian
dari diri manusia. yang dengannya seorang manusia mampu berpikir, memaksimalkan
dan mengefisiensi kerja otaknya, mampu merasa, meluapkan seluruh amarah,
kecewa, khawatir, bahagia dan segala aktivitas hati. Selanjutnya adalah tentang
kegiatan menulis dan tulisan yang dapat mewujudkan dirinya secara eksis dalam
satu perbuatan, yakni melawan atau berjuang. Pada pembahasan kali ini, kegiatan
menulis dalam perspektif saya, sudah memasuki perannya yang paling nyata. Bukan
lagi hanya tertuju atau terarah kepada diri manusia itu sendiri sebagai subjek
yang menulis, akan tetapi bagaimana menulis dapat menjadi sebuah alat dan
parang bagi letupan pikiran serta perasaan manusia. Bagaimana sebuah tulisan
bisa memprotes, bisa tidak setuju, melakukan kritik, mengungkap borok penguasa,
dan mewakili segala apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh manusia. Dan
bagimana goresan pena mampu mewakili itu semua lebih dari apa yang mampu
dilakukan oleh ucapan kata-kata.
Tentunya, contoh ideal dalam pembahasan kali ini adalah
karya besar Alm. Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-tulisannya merupakan sebuah
refleksi dari apa yang dipikirkan dan dirasakannya. segala bentuk protes,
ketidak setujuan, keadilan yang dipermainkan, tangis rakyat jelata yang
mengiris hati, dengusan kuli kerja paksa, semuanya dia tumpahkan dalam
tulisan-tulisannya. Masih ingat tetralogy pulau buru ?, yang terdiri dari Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Sebuah roman sejarah
yang menceritakan perjalanan panjang bangsa ini melawan eropa, yang
menggambarkan lika-liku kehidupan masyarakatnya, penindasan dan kelasisasi
bentukan eropa yang memelaratkan rakyatnya. semuanya dia kisahkan dengan
rajutan kata yang membuat pembacanya seperti hidup pada masa itu, menjadikan
pembacanya tenggelam dalam kepedihan dan ketidak adilan yang dirasakan layaknya
masyarakat waktu itu. Mungkin saya terlalu dangkal dalam memahami maksud-maksud
tersirat yang digambarakan Pram, tetapi begitulah yang saya rasakan sebagai
salah satu pembacanya. Disana diceritakan tentang perjuangan seorang anak muda
bernama Minke. Pemuda berani, menantu seorang wanita pemberani juga Nyi
Ontosoroh, yang memiliki parang tajam bernama menulis. Dengan parangnya itu dia
melawan segala bentuk penindasan terhadap bangsanya, dan dengan parangnya itu
dia pun mengajak bangsanya untuk turut berjuang dan membuka mata, sadar akan
nasib yang mereka alami.[8] Itu tergambar ketika pemerintah eropa akan
mengambil istri tercintanya, karena menurut hukum eropa yang berlaku waktu itu,
pernikahan yang terjadi antara Nyai Ontosoroh dengan tuan Herman Mallema
merupakan pernikahan yang tidak sah, karena Nyai Ontosoroh hanyalah seorang
gundik pribumi saja. Oleh karena itu, karena ada gugatan dari istri sahnya yang
ada di belanda sana, putera sahnya Maurist Mallema turun untuk melapor dan
menuntut pemindahan hak atas perusahaan yang ditinggalkan oleh ayahnya, yang
kini dipegang kendali oleh Nyai Ontosoroh. Dalam gugatannya itu juga, Maurist
menuntut untuk mengambil alih perwalian adiknya Annelies dan bermaksud untuk
memboyong Annelies ke Belanda dengan dalih agar dia mendapatkan hidup yang
lebih baik dan lebih layak. Sejak itulah, dengan mati-matian Minke berjuang
dengan penanya. Menyangkal. Memprotes, mengajak khalayak untuk berpikir tentang
mana yang benar dan mana yang salah. Dukungan pun datang dari berbagai arah.
Para ulama Jawa pun bergerak, petinggi keadilan agama Surabaya mengatakan bahwa
pernikahan itu sah, bahkan sekelompok orang Madura lengkap dengan celuritnya
dengan suka rela memberikan jasanya untuk melindungi Minke dan Nyai Ontosoroh
di kediamannya. Apa yang menggerakan mereka semua ?, hanyalah sebuah kegiatan
yang bernama menulis. Tanpa dipanggil, berteriak, mengais-ngais bantuan dengan
isak tangis dan ratapan, Minke dengan tulisannya mampu melakukan itu semua.
Semua orang pun merasa terwakili aspirasinya dengan “radikalisasi menulis” yang
diusung dan dilakukan Minke.
Dengan begitu, apa yang dilakukan
Minke kini bukan lagi dibaca sebagai sebuah “aktualisasi” atau perwujudan diri
ke dalam masyarakat, tetapi melampaui menjadi aktualisasi masyarakat ke dalam
sebuah peradaban. Sebuah dampak yang begitu besar dari sebuah kegiatan remeh
yang tak membutuhkan banyak biaya (bandingkan bila berjuang dengan demo atau
sejenisnya !, itupun kalau demo dikatakan sebagai gerakan yang berlandaskan
asas perjuangan, bukan uang) yang bernama menulis.
Menulis juga menjadi senjata ampuh bagi kaum santri dalam
membebaskan kelasisasi rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial dulu, sebuah
fenomena sosial yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat, kita punya
tanah. Berikut akan diceritakan tentang kisah bagaimana tulis-menulis menjadi
langkah awal islamisasi, khususnya di Indonesia. Bagaimana tulis-menulis menjadi
jalan awal bagi terciptanya masyarakat yang berwawasan keilmuan, dan bagaimana
tulis-menulis serta keberaksaraan menjadi sebuah pondasi awal bagi terbentuknya
sebuah peradaban. Semuanya terilhami dari sebuah tulisan “Pesantren, Dari
Literasi ke Liberasi”.[9]
Gerakan keberaksaraan atau yang lebih keren untuk kita
sebut sebagai literasi memang mulai digalakkan oleh para walisongo dalam rangka
membantu strategi mereka dalam membentuk sebuah peradaban, khususnya peradaban
islam di Indonesia. Pembahasannya sangat luas, tapi yang akan ditekankan disini
hanyalah masalah “bagaimana menulis dan tulisan tersebut menjadi semacam
senjata untuk berjuang, melakukan suatu pembebasan, seperti pembebasan kelas
sosial yang dilakukan oleh para walisongo dalam kegiatan literasinya”.
Sejarah sosial kehidupan bangsa ini secara kronologis
diawali oleh peradaban hindu-budha pada abad ke-7 masehi. Ditandai dengan
berdirinya kerajaan hindu besar di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya. Peradaban
itu terus berlanjut hingga berdirinya kerajaan majapahit di tanah Jawa. Lalu
apa yang diwariskan kerajaan Hindu-Budha ini kepada fenomena sosial di
nusantara, yakni system kelasisasi seperti yang saya sebut diatas. Pada masa
itu dikenal kategori derajat kedudukan Brahma, Satria dan Sudra. Kaum brahma
adalah kaum yang paling dihormati karena mereka memiliki kemampuan dan
penguasaan keilmuan di bidang keagamaan dan pemerintahan. Kaum satria adalah
mereka yang melaksanakan titah atau nasehat dari brahma untuk menjalankan roda
pemerintahan. Sedangkan kaum sudra adalah kaum rakyat jelata, yang sampai mati
pun akan tetap menjadi rakyat jelata. Tak pernah ada cerita kaum sudra
akan menjadi seorang kawula di sebuah kerajaan.[10]
Nah, system sosial inilah yang kemudian ingin dihapus
oleh para walisongo dalam tujuannya meng-islamisasi bumi nusantara. Mereka pun
mengajarkan keberaksaraan dan tulis-menulis kepada penduduk peribumi, lalu para
walisongo juga mengarang berbagai karangan yang berbentuk cerita dan
dongeng-dongeng yang mengandung ajakan untuk pembebasan strata sosial tersebut.
Seperti yang disebutkan dalam Pesantren Studies, misalnya : Jaka Bodo dan Jaka Klinting yang dikarang oleh Sunan Kudus
di Surabaya, Jaka Sumantri dan Jaka Sutakara yang dikarang oleh Sunan
Kalijaga di Jombang, Jaka Partwa Nggadingan Majapahit yang dikarang oleh sunan Drajat serta masih banyak lagi
karangan yang dihasilkan oleh para wali, yang kebanyakan memang disusun dalam
bentuk kisan-kisan seorang bernama Jaka. Plot atau model penarasian
kisah-kisah si Jaka mengikuti model santri pengembara yang hidup di desa, yang
ngaji kepeda seorang guru-ulama, kemudian menjadi pembela orang-orang desa,
menumpas penjahat, merawat sumber-sumber ekonomi dan alam di desa, mempelajari
satu ilmu tertentu yang membawa kemashlahatan bagi masyarakat, dan sebagian
tokohnya menjadi raja pelindung orang-orang desa. Dengan cara inilah
walisongo menyebarkan ajaran agama islam, mengajarkan tentang moralitas
dan pendidikan berbasis pesantren, membantu mereka untuk merawat dan melestarikan
sumber-sumber alam air, tanah dan hutan, sumber ekonomi dan sumber penghidupan
secara luas.[11] Disinilah nantinya apa yang dilakukan walisongo dengan
“menulis”nya mampu mensejahterakan masyarakat pribumi, serta tembok-tembok
strata social yang membayangi mereka pun pada akhirnya akan runtuh dengan
sendirinya. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak dan cukup hal
yang relevan untuk mereka pikirkan kini, ketimbang pada masa kerajaan hindu
dulu.
Apa yang anda bayangkan ketika seorang penulis (yang
benar-benar penulis!) tak menemukan pena, tinta dan kertas untuk dia tulisi ?,
masih ingatkah sebuah film yang berjudul “Quills” ?, perjuangan seorang penulis
atau sastrawan bernama Marquis De Sade dalam mendobrak dogmatisme gereja yang
memenjara kehidupan masyarakat pada saat itu. Dan itulah yang akan bicarakan
selanjutnya.
Mungkin kasusnya sama dengan kasus yang terjadi pada
zaman pra-pencerahan atau renaissance. Dimana pada saat itu gereja merupakan
satu-satunya lembaga yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari
cara berpikir, bagaimana seharusnya bersikap, tentang mana yang benar dan mana
yang salah, semuanya diatur secara ketat oleh gereja. Sehingga pada saat itu,
dogma-dogma kegerejaan dianggap menjadi pengatur yang mengatur ketat bagaimana
manusia harus hidup, ya semacam Tuhan yang mengatur kehidupan seluruh umat
manusia. Begitu pula yang terjadi pada masa dimana Marquis De Sade hidup. Dogma
gereja tentang hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan membuatnya sadar
bahwa hal itu harus dia tentang dan dia hapuskan. Karena dia pun sadar bahwa
kehidupan manusia tak seharusnya diatur sedemikian rupa oleh gereja. Apalagi
dalam masalah yang sangat personal seperti halnya hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan. Dengan timbulnya kesadaran seperti itu, De Sade mulai
menulis, membuat dan menyusun sebuah cerita yang sangat kontroversial, sebuah
cerita yang pada waktu itu dianggap tabu karena nilai-nilai ke-saruan stadium 4
yang dikandungnya. Gampangnya, dia mengarang kisah-kisah porno, bahkan bisa
dikatakan post-pornoisme atau neopornoisme karena tingkat kebejatan
cerita-cerita yang dia tulis sangatlah terkutuk dan tidak sopan.
Saya tidak akan berbicara tentang
apa yang dilakukan De Sade dalam perspektif agama, moralitas atupun hukum adat.
Akan tetapi, yang paling relevan untuk dibahas adalah nilai-nilai yang bersifat
asasi, yaitu membebaskan masyarakat dari dogma gereja yang erat memasung, bukan
membahas masalah Marquis De Sade adalah seorang yang bejat, yang tidak tahu
nilai-nilai moral, dan karangan seperti itu tidak seharusnya dibuat karena akan
merusak generasi muda bangsa, bukan itu. Tentu, disamping itu semua, semangat
berjuangnya dengan penalah yang harusnya menjadi teladan dan contoh bagi kita
generasi muda, agar mati-matian berjuang demi kebenaran yang kita yakini,
khususnya dengan jalan menulis.
Dikisahkan, karena “kebejatan” yang dilakukannya dalam
bentuk karangan cerita atau novel itu, Marquis De Sade akhirnya dijebloskan ke
dalam sebuah rumah sakit jiwa. Dia ditempatkan dalam ruangan lebar yang cukup
mewah untuk ukuran sebuah kamar rumah sakit. Karena pada saat itu dia masih
dihargai dan dihormati sebagai salah seorang sastrawan besar yang banyak
memiliki pengaruh, sehingga penjara hanyalah menjadi alat untuk memisahkannya
dengan dunia luas, dengan tujuan agar dia berhenti dalam menerbitkan
tulisan-tulisannya kepada khalayak umum. Tetapi itu tidak menyulutkan
semangatnya, tentang apa yang dia yakini. Tulisan-tulisannya tetap dia terbitkan
lewat salah seorang perawat rumah sakit bernama Madelaide yang sangat
menggemari tulisan-tulisannya. Si Madelaide inilah nantinya yang akan
meneruskan tulisan-tulisan Marquis De Sade hingga sampai di meja penerbit.
Singkatnya, karena geram dengan aksi Marquis De Sade yang masih getol
menerbitkan tulisan-tulisan frontalnya, akhirnya pihak gereja memutuskan untuk
memperlakukannya lebih ketat. Semua alat tulis, tinta, kertas dan segala
sesuatu yang bisa menjadi sarana untuk mendukung kegiatan menulisnya, dirampas
dan dibuang. Awalnya De Sade merasa frustasi terhadap yang dilakukan pihak
gereja kepadanya, karena keyakinan kuat yang dimilikinya, akhirnya muncul
sebuah ide radikal untuk menjadikan darahnya sendiri sebagai tinta dan
pakaiannya sebagai kertas yang akan menampung tulisan-tulisan bejatnya. Dua
potong pakaian yang dia kenakan dia penuhi dengan tulisan, darahnya pun telah
kering sehingga tak mampu lagi untuk mengalir keluar, dia pucat dan tak
berdaya. Akankah ini menjadi akhir dari kisah Marquis De Sade yang tragis ?,
ternyata tidak. Dia masih memiliki kotorannya sendiri untuk dia jadikan tinta,
tembok pun dia tulisi dengan tinta terakhir yang dia punya tersebut. Paling
akhir, dia tak lagi memiliki apa-apa untuk dijadikan sarana menulis. Di
akhir hayatnya, dia diminta untuk mencium symbol gereja sebagai tanda maaf dan
pertaubatan atas semua yang telah dia lakukan, tapi dasar Marquis De Sade yang
memang bebal dan bertempurung keras, symbol di hadapannya malah dia telan,
tersangkut di tenggorokan, malaikat maut mencabut nyawanya perlahan, mati.
Berakhir sudah kisah perjuangan seorang Marquis De Sade, seorang penulis yang
dianggap gila, yang mati tragis dengan tulisan tinta kotoran disekililingnya
dan lambang salib di kerongkongannya, lebih parah lagi dalam keadaan telanjang
!.
Tapi apa yang dia lakukan menyadarkan banyak pihak, salah
satunya adalah seorang perempuan muda didikan gereja bernama Simone, yang
dipaksa menikah dengan salah seorang pejabat gereja yang mungkin lebih cocok
untuk menjadi kakeknya daripada suaminya, namanya Dr. Royer Collard. Simone
akhirnya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya, meninggalkan suami
tuanya serta segenap dogma gereja yang pernah membekapnya. Semua serita tragis
itu, bermula dari sebuah kegiatan yang bernama “menulis”.
Sebenarnya ada satu tokoh lagi yang ingin saya angkat
perihal tema kita menulis sebagai bagian dari berjuang. Dia adalah soe hok gie,
seorang mahasiswa demonstran yang menurunkan Bung Karno dari kursi
kepresidenan. Buku hariannya yang terkenal “catatan seorang demonstran”
seolah-olah menggambarkan kehidupannya yang tidak lepas dari kegiatan menulis
dan menulis.
Keterangan :
[7] Tulisan ini terinsiprasi dari
perlawanan Minke yang digambarkan oleh Pramoedya dalam tetralogy Pulau Burunya,
Perlawanan kaum santri dengan literasi yang digambarkan Kyai Ahmad Baso dalam
Pesantren Studies 2a dan sebuah film tentang kegilaan Marquis De Sade dalam
protesnya terhadap dogma gereja, “Quills”.
[8] baca: Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara 2011.
[9] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a; Pesantren, Jaringan
Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya, hal: 1-11, Pustaka Afid.
[10] Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Lentera Dipantara 2011.
[11] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, hal : 3-4