www.uinjkt.ac.id
Merenungi Kembali Sakralitas Menulis
Sebenarnya sudah lama saya ingin membuat catatan
sederhana tentang hal ini. Tentang sebuah kegiatan yang menurut saya sangat
unik dan penuh dengan pijar-pijar keajaiban yang terkandung di dalamnya.
kegiatan yang ingin saya informasikan kepada semua orang, kegiatan yang ingin
saya doktrinkan di otak mereka lalu mereka pun menjadi candu terhadapnya,
khususnya bagi teman-teman atau siapapun yang ada di dekat saya. Tentu,
menyemarakkan kegiatan menulis ini tidak bisa jika hanya melalui pidato-pidato,
ceramah-ceramah atau ocehan-ocehan yang saya lontarkan setiap harinya. Mengajak
mereka menulis, ya harus lewat menulis itu sendiri. Menulis sebagai langkah
awal ibda’ binafsi dan karya tulisan sebagai langkah selanjutnya dalam bingkai
dakwah tadi.
Kembali merenungi, berarti saya mengajak anda sejenak
untuk melupakan masalah-masalah yang ada di pikiran kalian, khususnya
pikiran-pikiran yang berkaitan dengan “membuat makalah”, “perasaan terhadap
seseorang” ataupun “gejolak kegelisahan yang biasa terjadi pada darah pemuda,
khususnya mahasiswa”. Saya yakin, semua itu akan bisa anda atasi dengan sebuah
kegiatan sederhana, yakni menulis. Akan tetapi, sebelum anda memegang keyakinan
itu dan menyumpah saya akan pernyataan itu, ada baiknya kalau kemauan atau kesadaran
tersebut anda munculkan bukan dari bisikan indah saya, melainkan muncul dari
lubuk hati yang paling dalam dan lautan pikiran yang paling jernih. Untuk itu
mari kita merenungkan dan membahas sejenak, apa sebenarnya menulis itu ?,
bagaimana peran menulis dalam sebuah kehidupan ?, lalu manfaat apa yang akan
kita dapatkan dari menulis ?.
Secara sederhana, menulis dapat
diartikan sebagai sebuah kegiatan mencatat dan menyampaikan. Mencatat karena
kita memindahkan sesuatu ke dalam tulisan, menyampaikan karena tulisan adalah
sesuatu yang dibaca, siapa pun pembacanya, bahkan jika ia penulisnya
sendiri.[2]
Menulis saya katakan adalah sebuah kegiatan yang penuh
dengan nilai sakralitas dan penuh dengan sarat totalitas. Dalam artian, menulis
merupakan sebuah kegiatan yang paling dapat mewakili jiwa seorang manusia dan
apa yang menjadi karakternya. Karena dalam kenyataannya, lidah dan ucap manusia
sama sekali tidak cukup atau bahkan tidak sanggup untuk mengungkapkan dan
menggambarkan apa yang sedang dipancarkan oleh si manusia tersebut. Bahasa
verbal terlalu sempit, perbendaharaan kata terlalu miskin untuk dapat
menceritakan isi perasaan dan pikiran manusia. Jadi tak heran jika para
pemikir, filosof, sufi, dan kalangan ulama merasa berkewajiban untuk berkarya
dalam bentuk tulisan, disamping mereka juga mengisi kuliah-kuliah dan
pengajian-pengajian umum. Disinilah yang saya pahami, mereka berpikiran
bahwasanya tulisan lebih bisa menangkap apa yang mereka maksud dan lebih jelas,
lebih tegas dalam mengupas apa yang mereka pikirkan. Untuk itulah menulis
menjadi sesuatu yang teramat sakral, sebagai garda terdepan dalam perannya
sebagai penterjemah dan pengulas jiwa manusia itu sendiri, sebagai manifestasi
keberadaan manusia itu sendiri. Dengan menulis, seseorang berarti sedang
mewujudkan dirinya sendiri dalam keberadaan, lalu mewujudkan keberadaannya
dalam lingkungan sekitar, bersama manusia-manusia lainnya, dan kedalam sebuah
peradaban tentunya. Manusia tanpa menulis sama dengan kosong !.
Menulis Sebagai Bagian Dari Berpikir[3]
Selalu dikatakan khususnya dalam
ilmu logika atau manthiq bahwasanya manusia senyatanya tak lebih dari seekor
hewan. Dengan nafsu dan tabiat hewani yang dimilikinya, manusia tak ubahnya
seperti hewan itu sendiri, makan, minum, melakukan hubungan seksual dan
mengejar segala apa yang menjadi keinginannya dengan nafsu, dengan syahwatnya.
Akal, hanya akallah satu-satunya yang dapat membedakan mana manusia, mana
hewan. Dengan akalnya manusia dapat memilah dan memilih, dengan akalnya manusia
dapat mengatur dan mengontrol nafsu syahwatnya. Dengan akal manusia diberi
kesempatan untuk berpikir !. Dengan premis-premis diatas dapat diambil satu
kesimpulan yakni hakikat manusia adalah berpikir. Tidak berpikir, bukan
manusia. Bukan manusia, tak ubahnya adalah hewan yang melata. Hewan yang
melata, tak sedikitpun martabat menempel padanya !.
Jelaslah bahwa berpikir adalah manusia itu sendiri, tak
dapat dibedakan dan tak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu-kesatuan yang
membentuk seonggok daging yang Allah beri nama MANUSIA. Manusia dengan akal
pikirannya mampu melakukan apa saja. Apa yang dulu dianggap sebagai sesuatu
yang mustahil, terwujud berkat kesaktian akal pikiran manusia. Tentu, didalam
proses berpikir, apalagi mengenai sesuatu yang besar, manusia membutuhkan
sebuah bantuan, sebuah tandem yang pas untuk merealisasikan pikiran tersebut.
Dan menulis adalah pasangan serasi dan paling cocok bagi proses berpikirnya
manusia. Mengapa bisa demikian adanya ?, akan saya paparkan lebih jelas dan
lebih runtut berikut ini :
Ada dua hal pokok yang menjadi tonggak kerangka berpikir
manusia sekaligus menjadi alur bagi proses berpikir itu sendiri. Pertama
mengingat, kedua memilah dan menstrukturalisasi pikiran tersebut. Pada tahap
pertama dalam proses berpikir, manusia dituntut untuk mengingat dan menyimpan
hal-hal yang dia ketahui. Dalam tahap ini, tidak semua manusia mampu mengingat
apa yang pernah ia pelajari atau ia ketahui. Karena memang otak manusia memiliki
system yang hampir sama dengan lemari penyimpanan surat-surat atau arsip-arsip
di sebuah kantor pajak. Data atau arsip yang terdahulu akan diletakkan di dasar
laci, lalu diatasnya akan ditumpuki arsip-arsip atau data-data yang baru
datang. Untuk mencari arsip yang agak lama tersimpan, petugas pajak haruslah
mengorek-ngorek dulu tumpukan arsip yang berjubel banyaknya itu. Dibongkar satu
per-satu, dilihat, diperiksa, barulah arsip yang dimaksud akan ditemukan. Otak
manusia?, sama saja. Ia diibaratkan seperti sebuah laci data yang begitu besar,
yang tak akan penuh walaupun habis zaman. Semua data manusia di masa
kehidupannya, semua akan tersimpan rapi dalam laci tersebut. Data ingatan
tentang warna atap rumah sakit persalinan waktu dia dilahirkan, sampai sebatang
rokok dji sam soe yang dia hisap sedetik sebelum sakaratul maut, semuanya
tersimpan dan terdata lengkap. Ketika seorang manusia ingin mengingat sesuatu,
tentu dia akan diam sejenak mencari-mencari data mengenai hal itu. Kebanyakan
mereka gagal dalam mengingat hal tersebut, mengapa? Tentu karena disamping
datanya sudah terlalu usang dan terletak di tumpukan yang paling bawah, dia
juga hanya mengandalkan otaknya sebagai alat pengingat. Menulis adalah problem
solving yang paling tepat dalam permasalahan diatas. Tanpa disadari, dengan
menulis apa yang pikirkan atau diingat, manusia secara tidak langsung telah
mengulang dan memberdayakan organ lainnya selain otak untuk turut serta
mengingat dan menyimpan data tersebut. Oleh karena itu, sesuatu yang kita tulis
lebih bisa diingat daripada sesuatu yang tidak kita tulis. dan anda pun akan
merasakannya juga saat anda menulis. Seorang teman mengingatkan saya sebuah
syi’ir tentang hal ini.
العلم كالصيد, و الكتابة قيده # قيد
صيودك بحبل الوثيقة
“Ilmu itu bagiakan hewan buas,
menulis adalah ikatnya. Oleh karena itu, ikatlah hewan buasmu dengan tali yang
kuat”
Kedua, menulis membantu manusia
dalam menstrukturalisasi ide atau pikiran-pikirannya, membantu menyusun dan
mengkategorisasi ide tersebut. Dengan menulis, seseorang akan lebih bisa
menyampaikan pikiran atau idenya secara lebih runtut, lebih urut mulai A hingga
Z. tak heran jika dalam etika penulisan ilmiah ada beberapa hal yang
diperhatikan, disamping terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh
siapapun yang ingin menulis sebuah kajian ilmiah. Semisal harus ada latar
belakang penelitian, latar belakang kajian, metodologi penelitian, dan
lain-lain. Semua itu semata-mata hanya untuk mentertibkan alur pikiran manusia
yang tidak beraturan. Mensistematisasi ide-ide yang berkeliaran lalu
mengulasnya dalam bingkai alur penulisan yang mengalir, dengan begitu pikiran
manusia pun akan tersampaikan dengan lengkap dan jelas teratur. Sesuatu yang
tidak akan bisa dilakukan jika hanya mengandalkan bahasa dan ucap manusia. Dengan
begitu, Harus menulis !. seperti yang dicontohkan pendekar tanpa nama
ketika dia sadar bahwa menulis dapat mengkonstruksi ingatannya dan berguna
untuk membongkar teka-teki yang menghantuinya selama ini.[4]
“Cogito ergo sum”, dengan berpikir/menyadari maka aku
ada. Coba perhatikan premis-premis berikut ini. Dengan berpikir manusia menjadi
ada, manusia ada karena manusia berpikir, berpikir dinilai nihil jika tidak
disertai dengan menulis, menulis adalah bagian dari berpikir, kesimpulannya:
manusia menjadi ada karena dia menulis. Menulis menandakan seorang itu
berpikir, sekalipun yang ditulisnya bukanlah sesuatu yang penting, yang hanya
teruntuk bagi dirinya sendiri. Orang mengatakan bahwasanya dia berpikir, tapi
tak satu tulisan pun yang dia hasilkan, maka “berpikirnya” orang tadi masih
diragukan dan patut dipertanyakan. Kembali pada ungkapan Rene Descartes diatas,
salah seorang filosof rasionalis yang disebut sebagai bapak filsafat modern.
Dengan ungkapan itu dan beberapa premis yang telah kita uji, bisa disimpulkan
bahwasanya menulis berkaitan erat dengan eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan
bisa dikatakan menulis adalah keberadaan manusia itu sendiri. Sebenarnya hal
ini sudah saya kutip pada awal pembahasan tulisan ini tentang sakralitas
menulis. Lalu, manusia lewat menulis, akan memanifestasikan dirinya sendiri
dalam lingkungan sekitarnya. Dengan begitu, eksistensinya terhadap manusia dan
mahluk lainnya pun akan terwujud dengan sempurna dan total. Jadi tak salah jika
R.A. Kartini mengatakan bahwasanya menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Menulislah, maka engkau akan ada !!. Menulislah, maka engkau akan abadi !!.
masih terdengarkah di telinga anda akan perkataan nyai ontosoroh kepada minke
menantu yang paling disayanginya ?, “tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih
dari siapapun?, karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan
abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.”[5] menulislah kawan !.
Keterangan :
[1] Ungkapan R.A. Kartini yang
diabadikan oleh Pramoednya Ananta Toer.
[2] Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi 1 -Jurus Tanpa Bentuk-, Hal : 301, Gramedia 2009.
[3] Sebuah Frase yang dipopulerkan
oleh Anas Shafwan Khalid (Pendiri/Pengasuh Pesantren Saung).
[4] Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi 1, Hal : 299.
[5] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Hal : 112, Lentera
Dipantara 2011.