BECOME A WORLD CLASS UNIVERSITY

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beranjak menuju universitas kelas dunia. Welcome to the world community.

Berprikir Kreatif

Untuk memecahkan problem social.

Berpretasi

Sebagai agen of change, mahasiswa bidikmisi harus berprestasi dalam segala bidang.

Indonesia Jaya

Yang muda yang berkarya.

Indonesia Jaya

Yang muda yang berkarya.

Jumat, 10 Mei 2013

HARI INI, FORMABI LAKSANAKAN RAKER PERDANA



FORMABI online, (Perpustakaan Ma’had, Sabtu, 11 Mei 2013)
Setelah sukses merumuskan AD, ART dan GBHO, hari ini (11/05) FORMABI melaksanakan rapat kerja perdana. Rapat kali ini dihadiri oleh seluruh pengurus FORMABI masa khidmah 2012-2013 dan perwakilan setiap angkatan. Hadir pula Bpk. Dr. Abdul Rozak A. Sastra, M.A (Kabag. Kemahasiswaan) yang mewakili Warek III, Bpk. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim.

“Sedianya, Bapak Wakil Rektor III akan menghadiri acara Rapat Kerja hari ini, akan tetapi karena ada acara yang lebih penting, beliau tidak bisa datang. Jadi, digantikan oleh Kabag. Kemahasiswaan, Bapak Abdul Rozak.” Aku Ketua Formabi, Ajat Sudrajat.

Seperti halnya rapat penyusunan AD, ART dan GBHO minggu lalu, rapat ini terlaksana dengan lancar dan meriah, tak lupa para peserta pun tak kalah antusias. Lebih dari 35 orang lebih hadir dalam acara ini. Sebelum acara dimulai pada pukul 09.00 WIB, peserta datang dengan bersemangat.

“Ya, menurut saya raker ini merupakan suatu langkah awal di mana FORMABI berjalan sebagai sebuah organisasi.” Ujar Dede Ardi Hikmatullah, mahasiswa Prodi Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang juga pengurus Divisi Pendidikan di FORMABI.

Menurut Ketua Umum FORMABI masa khidmah 2012-2013, Sdr. Ajat Sudrajat, bahwa dengan terbentuknya FORMABI ini, mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi dapat belajar berorganisasi, tidak hanya punya kemampuan akademik tapi juga kemampuan non-akademik.

Bapak Abdul Rozak , yang juga anggota Dewan Penasehat FORMABI, dalam sambutannya, bercerita mengenai pengalaman hidupnya, juga memotivasi para peserta rapat agar berjuang dalam menggapai cita-cita. “Saya dari kelas tiga MTs, ditinggal oleh bapak saya. Sebab itulah saya berhasil jadi doktor. Karena banyak orang yang terlena dengan doktor. Saya dulu tidur di masjid, jadi marbot. Yang penting bisa kuliah.” Ceritanya. “Kalo bapaknya jadi penjual cilok, kalian harus bisa jadi Direktur cilok. Kalo bapaknya hanya sampai SMA, kalian harus bisa sampai S3.” Lanjut beliau dengan penuh semangat.


Minggu, 05 Mei 2013

(part IV) MENULIS : BEKERJA UNTUK KEABADIAN TENTANG PERAN “MENULIS” SEBAGAI SEBUAH SISTEM FONDASIONAL KE-DIRI-AN DAN PERADABAN MANUSIA



Menulis, Membangun Sebuah Peradaban

Seperti yang telah saya singgung pada pengantar tema tulisan kali ini, bahwasanya disamping menulis menjadi semacam system fondasional bagi ke-dirian manusia, menulis juga berperan bagi terbentuknya sebuah peradaban keilmuan. Hal ini bukan hanya sekedar wacana untuk membesar-besarkan pembahasan tentang menulis ini, akan tetapi hal itu telah menjadi fenomena faktual bagi beberapa peradaban besar di dunia, Sebut saja peradaban china dan yunani. Kedua peradaban tersebut dikenal sebagai peradaban awal yang kemudian memunculkan peradaban-peradaban besar lainnya. Tentu, yang menjadikan mereka sebagai peradaban besar tak lain adalah proyek literasi yang mereka tekuni. Dan tak heran jika pada masa kepemimpinan khalifah Harun Ar-Rasyid, dimana islam mulai menggadang-gadang untuk menjadi salah satu peradaban besar di dunia, haruslah dimulai dengan meningkatkan tradisi keilmuan dan mengembangkan tradisi literasi tersebut. Buku-buku yunani dan beberapa peradaban besar lainnya diterjemah, dibahas dan dikaji oleh para ilmuan muslim lalu ditulis lagi sebagai sebuah keilmuan baru dalam tubuh islam. Dengan begitu, tak lama kemudian islam pun menjadi peradaban besar yang gemilang, yang mencapai masa keemasannya pada saat keilmuan memang benar-benar ditradisikan secara murni dan sungguh-sungguh, salah satunya dengan karya-karya yang diterbitkan para ilmuan muslim.

Di Indonesia, pesantren dan kaum santrilah yang memegang peran dalam tradisi menulis tersebut, peradaban pun mulai dibangun. Dimulai dari misi walisongo untuk melakukan islamisasi di tanah nusantara di daeran-daeran pesisir, terutama Demak. Disinilah para actor tersebut memperkenalkan tradisi tulis-menulis dan keberaksaraan kepada masyarakat awam, lalu membentuk sebuah peradaban yang berbasiskan hasil-hasil laut. Lalu, arah misi pun berkembang ke daerah-daerah pedalaman yang berbasiskan kehidupan agraris. Yakni dengan mengandalkan pertanian, cocok tanam, hasil hutan dan semua kekayaan yang berasal dari alam. Karena, menurut logika walisongo pada saat itu, daerah pedalaman adalah jantung kehidupan sebuah peradaban umat manusia. Dengan hanya mengislamisasi penduduk daerah pesisir yang mengandalkan hasil laut, mustahil sebuah peradaban yang langgeng akan terwujud, karena memang masyarakat pesisir sangat bergantung kepada masyarakat di pedalaman yang menghasilkan beras untuk mereka makan. Oleh karena itu, tradisi tulis-menulis juga diperkenalkan di wilayah pedalaman dengan actor utamanya Sunan Kalijaga.

Gerakan keberaksaraan dan kelisanan mulai digalakkan, baik pengajaran yang dilakukan walisongo kepada masyarakat, maupun kontinuitas walisongo dalam membuat karangan kisah-kisah. Dengan begitu walisongo menciptakan sebuah perpaduan yang harmonis diantara dua peradaban kosmopolit ini. Strategi-strategi inilah yang mengantarkan walisongo sukses dalam menciptakan suatu masyarakat yang berlandaskan kepada tradisi pesantren, berguru kepada kyai dan ngaji kitab, serta perlindungan terhadap sumber-sumber kehidupan umat manusia. Peradaban itu oleh walisongo dibangun dari dua pilar sekaligus: kelisanan (bahasa) dan keberaksaraan (tradisi tulis-menulis).

Menulis: Berperang Melawan Diri Sendiri

Akhirnya, setelah semua pembahasan selesai diuraikan. Setelah sedikit demi sedikit kesadaran kita mulai terbuka akan pentingnya menulis, semuanya pun akan kembali kepada diri kita sendiri. Sebenarnya tidak mesti dalam kegiatan menulis ini kita harus berperang dengan diri kita sendiri. Semua hal-hal yang baik pun juga berpotensi menyulut peperangan yang disebut Rasul sebagai peperangan yang lebih besar daripada perang badar ini. Tak lain adalah berperang melawan hawa nafsu kita sendiri. 

Menulis memang sebuah kegiatan yang sangat membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Karena itu dibalik keinginan kita untuk menulis, telah berdiri dua ribu infantri pasukan setan berani mati yang dengan sekuat tenaga akan menghalangi kita akan terwujudnya keinginan itu. Sering digambarkan bahwasanya manusia memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi buruk, sebagaimana juga yang diyakini oleh Anne Frank. Kalau boleh digambarkan, di sisi kanan manusia terdapat seorang malaikat yang selalu mengajak dan mendukung kepada hal-hal yang baik serta bermanfaat, di sisi lainnya terdapat setan dengan tubuh merah lengkap dengan kedua tanduknya, mendenguskan hawa panas dan tak lupa memegang tongkat serupa dengan tongkat yang dimiliki Poseidon (terkadang saya bingung. Tongkat itu sebenarnya milik setan atau milik Poseidon?, atau memang menjadi setan itu adalah kerjaan sampingan Poseidon?. Entahlah!), yang selalu mengajak manusia untuk menolak, menghiraukan ajakan si malaikat lalu mengerjakan kejelekan seperti yang disarankan olehnya. 

Disinilah manusia atau kita, dalam istilah yang sering disebut oleh Kyai Ahmad Baso berada dalam titik‘azmah atau masa krisis. Yang menentukan hasil akhirnya adalah kita sendiri sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Jika kita bersikap cermat, lalu menjadikan masa kriris itu sebagai pijakan untuk mencapai I’adatut ta’sis, maka keberhasilan akan menari-nari dihadapan kita dan menunggu untuk kita raih. Sebaliknya, jika kita menyikapi krisis itu dengan menuruti si setan merah, menyikapi hal tersebut sebagai sebuah kelemahan dan ketidak berdayaan kita selaku manusia, maka keberhasilan pun akan menjauh sembari meludahi wajah kita, lalu ia berteriak mencaci, “bodohnya kau wahai manusia. Jhuiih,,!”. Si malaikat putih membisikkan, “apa aku bilang manusia ?! matilah kau sekarang”. Si setan merah berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangannya, “aku menang,, aku menang,, hahaha”.
jadi, masihkah ada alasan untuk kita tidak menulis ??
“We are the champion my friend, and we’ll keep on fighting till the end” -Queen-

(part III) MENULIS : BEKERJA UNTUK KEABADIAN TENTANG PERAN “MENULIS” SEBAGAI SEBUAH SISTEM FONDASIONAL KE-DIRI-AN DAN PERADABAN MANUSIA



Menulis Sebagai Bagian Dari Berjuang[7]

Setelah menyadari bahwasanya menulis merupakan bagian dari diri manusia. yang dengannya seorang manusia mampu berpikir, memaksimalkan dan mengefisiensi kerja otaknya, mampu merasa, meluapkan seluruh amarah, kecewa, khawatir, bahagia dan segala aktivitas hati. Selanjutnya adalah tentang kegiatan menulis dan tulisan yang dapat mewujudkan dirinya secara eksis dalam satu perbuatan, yakni melawan atau berjuang. Pada pembahasan kali ini, kegiatan menulis dalam perspektif saya, sudah memasuki perannya yang paling nyata. Bukan lagi hanya tertuju atau terarah kepada diri manusia itu sendiri sebagai subjek yang menulis, akan tetapi bagaimana menulis dapat menjadi sebuah alat dan parang bagi letupan pikiran serta perasaan manusia. Bagaimana sebuah tulisan bisa memprotes, bisa tidak setuju, melakukan kritik, mengungkap borok penguasa, dan mewakili segala apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh manusia. Dan bagimana goresan pena mampu mewakili itu semua lebih dari apa yang mampu dilakukan oleh ucapan kata-kata.

Tentunya, contoh ideal dalam pembahasan kali ini adalah karya besar Alm. Pramoedya Ananta Toer. Tulisan-tulisannya merupakan sebuah refleksi dari apa yang dipikirkan dan dirasakannya. segala bentuk protes, ketidak setujuan, keadilan yang dipermainkan, tangis rakyat jelata yang mengiris hati, dengusan kuli kerja paksa, semuanya dia tumpahkan dalam tulisan-tulisannya. Masih ingat tetralogy pulau buru ?, yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Sebuah roman sejarah yang menceritakan perjalanan panjang bangsa ini melawan eropa, yang menggambarkan lika-liku kehidupan masyarakatnya, penindasan dan kelasisasi bentukan eropa yang memelaratkan rakyatnya. semuanya dia kisahkan dengan rajutan kata yang membuat pembacanya seperti hidup pada masa itu, menjadikan pembacanya tenggelam dalam kepedihan dan ketidak adilan yang dirasakan layaknya masyarakat waktu itu. Mungkin saya terlalu dangkal dalam memahami maksud-maksud tersirat yang digambarakan Pram, tetapi begitulah yang saya rasakan sebagai salah satu pembacanya. Disana diceritakan tentang perjuangan seorang anak muda bernama Minke. Pemuda berani, menantu seorang wanita pemberani juga Nyi Ontosoroh, yang memiliki parang tajam bernama menulis. Dengan parangnya itu dia melawan segala bentuk penindasan terhadap bangsanya, dan dengan parangnya itu dia pun mengajak bangsanya untuk turut berjuang dan membuka mata, sadar akan nasib yang mereka alami.[8] Itu tergambar ketika pemerintah eropa akan mengambil istri tercintanya, karena menurut hukum eropa yang berlaku waktu itu, pernikahan yang terjadi antara Nyai Ontosoroh dengan tuan Herman Mallema merupakan pernikahan yang tidak sah, karena Nyai Ontosoroh hanyalah seorang gundik pribumi saja. Oleh karena itu, karena ada gugatan dari istri sahnya yang ada di belanda sana, putera sahnya Maurist Mallema turun untuk melapor dan menuntut pemindahan hak atas perusahaan yang ditinggalkan oleh ayahnya, yang kini dipegang kendali oleh Nyai Ontosoroh. Dalam gugatannya itu juga, Maurist menuntut untuk mengambil alih perwalian adiknya Annelies dan bermaksud untuk memboyong Annelies ke Belanda dengan dalih agar dia mendapatkan hidup yang lebih baik dan lebih layak. Sejak itulah, dengan mati-matian Minke berjuang dengan penanya. Menyangkal. Memprotes, mengajak khalayak untuk berpikir tentang mana yang benar dan mana yang salah. Dukungan pun datang dari berbagai arah. Para ulama Jawa pun bergerak, petinggi keadilan agama Surabaya mengatakan bahwa pernikahan itu sah, bahkan sekelompok orang Madura lengkap dengan celuritnya dengan suka rela memberikan jasanya untuk melindungi Minke dan Nyai Ontosoroh di kediamannya. Apa yang menggerakan mereka semua ?, hanyalah sebuah kegiatan yang bernama menulis. Tanpa dipanggil, berteriak, mengais-ngais bantuan dengan isak tangis dan ratapan, Minke dengan tulisannya mampu melakukan itu semua. Semua orang pun merasa terwakili aspirasinya dengan “radikalisasi menulis” yang diusung dan dilakukan Minke.
Dengan begitu, apa yang dilakukan Minke kini bukan lagi dibaca sebagai sebuah “aktualisasi” atau perwujudan diri ke dalam masyarakat, tetapi melampaui menjadi aktualisasi masyarakat ke dalam sebuah peradaban. Sebuah dampak yang begitu besar dari sebuah kegiatan remeh yang tak membutuhkan banyak biaya (bandingkan bila berjuang dengan demo atau sejenisnya !, itupun kalau demo dikatakan sebagai gerakan yang berlandaskan asas perjuangan, bukan uang) yang bernama menulis.

Menulis juga menjadi senjata ampuh bagi kaum santri dalam membebaskan kelasisasi rakyat yang dibentuk pemerintah kolonial dulu, sebuah fenomena sosial yang sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat, kita punya tanah. Berikut akan diceritakan tentang kisah bagaimana tulis-menulis menjadi langkah awal islamisasi, khususnya di Indonesia. Bagaimana tulis-menulis menjadi jalan awal bagi terciptanya masyarakat yang berwawasan keilmuan, dan bagaimana tulis-menulis serta keberaksaraan menjadi sebuah pondasi awal bagi terbentuknya sebuah peradaban. Semuanya terilhami dari sebuah tulisan “Pesantren, Dari Literasi ke Liberasi”.[9]

Gerakan keberaksaraan atau yang lebih keren untuk kita sebut sebagai literasi memang mulai digalakkan oleh para walisongo dalam rangka membantu strategi mereka dalam membentuk sebuah peradaban, khususnya peradaban islam di Indonesia. Pembahasannya sangat luas, tapi yang akan ditekankan disini hanyalah masalah “bagaimana menulis dan tulisan tersebut menjadi semacam senjata untuk berjuang, melakukan suatu pembebasan, seperti pembebasan kelas sosial yang dilakukan oleh para walisongo dalam kegiatan literasinya”.

Sejarah sosial kehidupan bangsa ini secara kronologis diawali oleh peradaban hindu-budha pada abad ke-7 masehi. Ditandai dengan berdirinya kerajaan hindu besar di Sumatera yaitu kerajaan Sriwijaya. Peradaban itu terus berlanjut hingga berdirinya kerajaan majapahit di tanah Jawa. Lalu apa yang diwariskan kerajaan Hindu-Budha ini kepada fenomena sosial di nusantara, yakni system kelasisasi seperti yang saya sebut diatas. Pada masa itu dikenal kategori derajat kedudukan Brahma, Satria dan Sudra. Kaum brahma adalah kaum yang paling dihormati karena mereka memiliki kemampuan dan penguasaan keilmuan di bidang keagamaan dan pemerintahan. Kaum satria adalah mereka yang melaksanakan titah atau nasehat dari brahma untuk menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan kaum sudra adalah kaum rakyat jelata, yang sampai mati pun akan tetap menjadi rakyat jelata. Tak pernah  ada cerita kaum sudra akan menjadi seorang kawula di sebuah kerajaan.[10]

Nah, system sosial inilah yang kemudian ingin dihapus oleh para walisongo dalam tujuannya meng-islamisasi bumi nusantara. Mereka pun mengajarkan keberaksaraan dan tulis-menulis kepada penduduk peribumi, lalu para walisongo juga mengarang berbagai karangan yang berbentuk cerita dan dongeng-dongeng yang mengandung ajakan untuk pembebasan strata sosial tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Pesantren Studies, misalnya : Jaka Bodo dan Jaka Klinting yang dikarang oleh Sunan Kudus di Surabaya, Jaka Sumantri dan Jaka Sutakara yang dikarang oleh Sunan Kalijaga di Jombang, Jaka Partwa Nggadingan Majapahit yang dikarang oleh sunan Drajat serta masih banyak lagi karangan yang dihasilkan oleh para wali, yang kebanyakan memang disusun dalam bentuk kisan-kisan seorang bernama Jaka. Plot atau model penarasian kisah-kisah si Jaka mengikuti model santri pengembara yang hidup di desa, yang ngaji kepeda seorang guru-ulama, kemudian menjadi pembela orang-orang desa, menumpas penjahat, merawat sumber-sumber ekonomi dan alam di desa, mempelajari satu ilmu tertentu yang membawa kemashlahatan bagi masyarakat, dan sebagian tokohnya menjadi raja pelindung orang-orang desa. Dengan cara inilah walisongo  menyebarkan ajaran agama islam, mengajarkan tentang moralitas dan pendidikan berbasis pesantren, membantu mereka untuk merawat dan melestarikan sumber-sumber alam air, tanah dan hutan, sumber ekonomi dan sumber penghidupan secara luas.[11] Disinilah nantinya apa yang dilakukan walisongo dengan “menulis”nya mampu mensejahterakan masyarakat pribumi, serta tembok-tembok strata social yang membayangi mereka pun pada akhirnya akan runtuh dengan sendirinya. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak dan cukup hal yang relevan untuk mereka pikirkan kini, ketimbang pada masa kerajaan hindu dulu.

Apa yang anda bayangkan ketika seorang penulis (yang benar-benar penulis!) tak menemukan pena, tinta dan kertas untuk dia tulisi ?, masih ingatkah sebuah film yang berjudul “Quills” ?, perjuangan seorang penulis atau sastrawan bernama Marquis De Sade dalam mendobrak dogmatisme gereja yang memenjara kehidupan masyarakat pada saat itu. Dan itulah yang akan bicarakan selanjutnya.

Mungkin kasusnya sama dengan kasus yang terjadi pada zaman pra-pencerahan atau renaissance. Dimana pada saat itu gereja merupakan satu-satunya lembaga yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Mulai dari cara berpikir, bagaimana seharusnya bersikap, tentang mana yang benar dan mana yang salah, semuanya diatur secara ketat oleh gereja. Sehingga pada saat itu, dogma-dogma kegerejaan dianggap menjadi pengatur yang mengatur ketat bagaimana manusia harus hidup, ya semacam Tuhan yang mengatur kehidupan seluruh umat manusia. Begitu pula yang terjadi pada masa dimana Marquis De Sade hidup. Dogma gereja tentang hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan membuatnya sadar bahwa hal itu harus dia tentang dan dia hapuskan. Karena dia pun sadar bahwa kehidupan manusia tak seharusnya diatur sedemikian rupa oleh gereja. Apalagi dalam masalah yang sangat personal seperti halnya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dengan timbulnya kesadaran seperti itu, De Sade mulai menulis, membuat dan menyusun sebuah cerita yang sangat kontroversial, sebuah cerita yang pada waktu itu dianggap tabu karena nilai-nilai ke-saruan stadium 4 yang dikandungnya. Gampangnya, dia mengarang kisah-kisah porno, bahkan bisa dikatakan post-pornoisme atau neopornoisme karena tingkat kebejatan cerita-cerita yang dia tulis sangatlah terkutuk dan tidak sopan.
Saya tidak akan berbicara tentang apa yang dilakukan De Sade dalam perspektif agama, moralitas atupun hukum adat. Akan tetapi, yang paling relevan untuk dibahas adalah nilai-nilai yang bersifat asasi, yaitu membebaskan masyarakat dari dogma gereja yang erat memasung, bukan membahas masalah Marquis De Sade adalah seorang yang bejat, yang tidak tahu nilai-nilai moral, dan karangan seperti itu tidak seharusnya dibuat karena akan merusak generasi muda bangsa, bukan itu. Tentu, disamping itu semua, semangat berjuangnya dengan penalah yang harusnya menjadi teladan dan contoh bagi kita generasi muda, agar mati-matian berjuang demi kebenaran yang kita yakini, khususnya dengan jalan menulis.

Dikisahkan, karena “kebejatan” yang dilakukannya dalam bentuk karangan cerita atau novel itu, Marquis De Sade akhirnya dijebloskan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa. Dia ditempatkan dalam ruangan lebar yang cukup mewah untuk ukuran sebuah kamar rumah sakit. Karena pada saat itu dia masih dihargai dan dihormati sebagai salah seorang sastrawan besar yang banyak memiliki pengaruh, sehingga penjara hanyalah menjadi alat untuk memisahkannya dengan dunia luas, dengan tujuan agar dia berhenti dalam menerbitkan tulisan-tulisannya kepada khalayak umum. Tetapi itu tidak menyulutkan semangatnya, tentang apa yang dia yakini. Tulisan-tulisannya tetap dia terbitkan lewat salah seorang perawat rumah sakit bernama Madelaide yang sangat menggemari tulisan-tulisannya. Si Madelaide inilah nantinya yang akan meneruskan tulisan-tulisan Marquis De Sade hingga sampai di meja penerbit. Singkatnya, karena geram dengan aksi Marquis De Sade yang masih getol menerbitkan tulisan-tulisan frontalnya, akhirnya pihak gereja memutuskan untuk memperlakukannya lebih ketat. Semua alat tulis, tinta, kertas dan segala sesuatu yang bisa menjadi sarana untuk mendukung kegiatan menulisnya, dirampas dan dibuang. Awalnya De Sade merasa frustasi terhadap yang dilakukan pihak gereja kepadanya, karena keyakinan kuat yang dimilikinya, akhirnya muncul sebuah ide radikal untuk menjadikan darahnya sendiri sebagai tinta dan pakaiannya sebagai kertas yang akan menampung tulisan-tulisan bejatnya. Dua potong pakaian yang dia kenakan dia penuhi dengan tulisan, darahnya pun telah kering sehingga tak mampu lagi untuk mengalir keluar, dia pucat dan tak berdaya. Akankah ini menjadi akhir dari kisah Marquis De Sade yang tragis ?, ternyata tidak. Dia masih memiliki kotorannya sendiri untuk dia jadikan tinta, tembok pun dia tulisi dengan tinta terakhir yang dia punya tersebut. Paling akhir, dia tak lagi memiliki apa-apa  untuk dijadikan sarana menulis. Di akhir hayatnya, dia diminta untuk mencium symbol gereja sebagai tanda maaf dan pertaubatan atas semua yang telah dia lakukan, tapi dasar Marquis De Sade yang memang bebal dan bertempurung keras, symbol di hadapannya malah dia telan, tersangkut di tenggorokan, malaikat maut mencabut nyawanya perlahan, mati. Berakhir sudah kisah perjuangan seorang Marquis De Sade, seorang penulis yang dianggap gila, yang mati tragis dengan tulisan tinta kotoran disekililingnya dan lambang salib di kerongkongannya, lebih parah lagi dalam keadaan telanjang !.

Tapi apa yang dia lakukan menyadarkan banyak pihak, salah satunya adalah seorang perempuan muda didikan gereja bernama Simone, yang dipaksa menikah dengan salah seorang pejabat gereja yang mungkin lebih cocok untuk menjadi kakeknya daripada suaminya, namanya Dr. Royer Collard. Simone akhirnya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya, meninggalkan suami tuanya serta segenap dogma gereja yang pernah membekapnya. Semua serita tragis itu, bermula dari sebuah kegiatan yang bernama “menulis”.     

Sebenarnya ada satu tokoh lagi yang ingin saya angkat perihal tema kita menulis sebagai bagian dari berjuang. Dia adalah soe hok gie, seorang mahasiswa demonstran yang menurunkan Bung Karno dari kursi kepresidenan. Buku hariannya yang terkenal “catatan seorang demonstran” seolah-olah menggambarkan kehidupannya yang tidak lepas dari kegiatan menulis dan menulis.


Keterangan :
[7] Tulisan ini terinsiprasi dari perlawanan Minke yang digambarkan oleh Pramoedya dalam tetralogy Pulau Burunya, Perlawanan kaum santri dengan literasi yang digambarkan Kyai Ahmad Baso dalam Pesantren Studies 2a dan sebuah film tentang kegilaan Marquis De Sade dalam protesnya terhadap dogma gereja, “Quills”.
[8] baca: Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Lentera Dipantara 2011.
[9] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a; Pesantren, Jaringan Pengetahuan dan Karakter Kosmopolitan-Kebangsaannya, hal: 1-11, Pustaka Afid.
[10] Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes, Lentera Dipantara 2011.
[11] Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, hal : 3-4

(part II) MENULIS : BEKERJA UNTUK KEABADIAN TENTANG PERAN “MENULIS” SEBAGAI SEBUAH SISTEM FONDASIONAL KE-DIRI-AN DAN PERADABAN MANUSIA

www.uinjkt.ac.id


Menulis Sebagai Bagian Dari Merasa.

Mungkin saya bukanlah orang yang terlalu menaruh perhatian yang lebih terhadap perasaan, atau bahkan saya adalah seseorang yang sama sekali tidak tahu menahu masalah perasaan. Satu alasan yang melatar belakangi saya menulis sub bab ini adalah pernyataan seorang kawan tentang menulis. Sebelumnya, saya telah melakukan semacam interview terhadap beberapa teman tentang menulis. Masing-masing mereka saya ajukan pertanyaan, mengapa manusia harus menulis ?, apa manfaat menulis bagi mereka yang bukan termasuk dari kalangan akademisi ?, apa yang kalian rasakan dari kegiatan yang bernama menulis itu ?. nah, salah satu dari mereka memberikan jawaban yang saya rasa tidak logis sama sekali, karena menyangkut perasaan yang dimiliki manusia. Tidak logis dalam artian, jawaban seperti itu tidak cocok bila dijadikan hujjah syar’iyyah atau alasan argumentatif terkait dengan gerakan penyemarakan menulis ini. Coba bayangkan, ketika anda ditanya seorang yang ingin menguji sejauh mana pentingnya menulis, “apa manfaat bagi saya ketika saya menulis ?”, terus anda jawab: “dengan menulis kamu akan merasa tenang !!”, saya yakin dia pasti akan tertawa mengejek anda sembari berkata, “uang yang membuat manusia menjadi tenang bung !!, haha”. Tapi saya pun maklum, karena memang (katanya) laki-laki hidup dengan akalnya sedang perempuan hidup dengan perasaannya. Dengan tulisan inilah saya berusaha dan berharap masalah itu menjadi sebuah alasan logis untuk sebuah kegiatan menulis, yakni bahwasanya menulis merupakan satu bagian dari merasa.

 “Menulis itu bagi yang terbiasa dapat menjadi obat stres. Dengan menulis, seseorang akan sedikit merasa tenang”, kata Kyai Ahmad Baso, seorang intelektual muda NU yang sedang menggarap karya mognum opusnya “Pesantren Studies” yang berjilid-jilid. Sehabis membahas tentang materi yang menjadi bahan kajian malam itu, beliau memberikan sedikit motivasi dan menceritakan pengalamannya selama menulis. Beliau mengakui salah satunya bahwa menulis dapat menjadikan dirinya lebih tenang, nyaman dan tentram. Karena dengan menulis, beliau dapat menuangkan seluruh kegelisahan hatinya, sekat-sekat yang menyesakkan jiwanya atupun kerikil-krikil yang memenuhi pikirannya ke dalam sebuah tulisan.

Dengan begitu bisa dipahami bahwasanya menulis bukan sekedar kegiatan mencatat hal-hal penting ataupun menuangkan sebuah ide ke dalamnya, akan tetapi menulis dapat menjadi teman hidup yang paling setia dalam kehidupan manusia, yang bersedia menjadi tempat sampah bagi segala gundah gulana, tempat bercerita bagi segala suka cita, dan tempat menampung air mata saat berduka. Semua itu menjadikan menulis sebagai sebuah kegiatan yang memiliki peran, bahkan melampaui peran manusia itu sendiri, khususnya dalam hal berteman dan kesetiaan. Tentu anda paham apa yang saya maksud ?!
Selanjutnya saya akan berbicara tentang sebuah diary. Diary adalah perlambang dari sebuah tulisan yang mewakili perasaan. Berbeda dengan modul, buku, makalah atau artikel, diary biasanya lebih kepada sesuatu yang intern yang dialami oleh penulisnya. Oleh karena itu, bagi penulisnya diary dianggap lebih berharga dan lebih bernilai daripada jenis-jenis tulisan lainnya. Singkatnya, saya akan mengajak anda langsung melihat fakta sejarah tentang kesaktian sebuah tulisan yang mewakili perasaan penulisnya. Sebuah diary milik seorang wanita muda berdarah yahudi bernama Anne Frank.[6]  

Sebenarnya Anne Frank bukanlah seorang yang terkenal dan memiliki kuasa seperti Pak Karno ataupun John F. Kennedy. Dia hanyalah seorang anak keturunan yahudi yang memiliki keberanian mengungkapkan pendapat dan semua yang dirasakan serta dipikirkannya. Awalnya dia merasa sedih karena kurang memiliki teman yang bisa dia jadikan tempat luapan segala unek-uneknya. Singkatnya, untuk hadiah ulang tahun, Anne meminta hadiah sebuah diary kepada sang ayah, tak lain dan tak bukan untuk mengungkapkan segala apa yang dirasakannya ke dalam buku itu. Kebetulan, masa dia hidup adalah masa dimana nazi dan fuhrernya sedang berambisi untuk menghapus ras yahudi dari muka bumi. Dengan keyakinan bahwa ras arya adalah ras yang paling mulia diantara semua golongan manusia, nazi bertekad menjadikan Jerman pada saat itu sebagai raja atau sebuah kekuatan yang tiada bandingannya di dunia. Karena misi pembantaian yahudi itu, Anne Frank beserta keluarganya melakukan persembunyian, menyembunyikan keberadaan mereka dari khalayak, memakzulkan segala identitas mereka dari orang banyak, dengan tujuan hanya untuk selamat dari pembantaian nazi tersebut. Sayangnya, persembunyian mereka tercium dan mereka pun pada akhirnya juga turut dibawa ke camp yahudi di Bergen Melsen bersama yahudi-yahudi lainnya. Sebuah camp yang nantinya menjadi tempat terakhir sekaligus pemakaman bagi Anne Frank dan 17.000 anak yahudi lainnya. Itu cerita singkatnya.

Catatan harian Anne Frank bukanlah sekedar catatan yang berisikan ”kegalauan” seorang wanita muda belaka. Meskipun memang pada hakikatnya buku harian ini hanyalah berisikan sesuatu yang sedang dirasakan oleh si penulis secara pribadi, catatan atau buku harian ini menjadi semacam gambaran bagi masyarakat dunia, khususnya mereka yang ada setelahnya, tentang sebuah kekejaman yang melanda kemanusiaan manusia saat itu. Catatannya menceritakan kepada semua orang betapa berharganya sebuah kehidupan. Udara dengan bebasnya kita hirup, memanjakan hidup dengan roh lembut hembusan tuhan. Tanah dengan leluasa kita injak, kemudian hangatnya menjalar hingga pori dan sendi-sendi hati, lalu lahirlah ketenangan. Air hujan dengan puasnya kita sentuh riaknya, sehingga setiap tetesnya yang jatuh membawa kesejukan tersendiri bagi kuasa jiwa. Semua kebebasan yang kita rasakan itu hendaknya melahirkan sebuah sikap berdamai dan rasa syukur kepada kehidupan yang telah membesarkan kita, kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan. Dan bahwa kekerasan tidak selalu menjadi solusi akhir yang dapat mengatasi segala persoalan. Melainkan sikap tenang, penuh pertimbangan dan bijak dalam mengambil keputusanlah yang saya kira bisa mengatasi segala problem.

Catatan Anne Juga memberitahukan kepada kita agar selalu waspada dan hati-hati terhadap hewan buas yang bersarang didalam hati kita, yang sewaktu-waktu dapat lepas dari belenggunya, lalu ia pun akan menerkam dan memangsa diri kita sendiri, yakni rasa dendam yang beranak pinak dalam hati. Dan terakhir, pelajaran besar yang harus kira resapi, betapa tulisan Anne tersebut bisa mengubah cara pandang dunia dan banyak orang tentang sebuah rezim kekerasan yang digelar oleh Adolf Hitler dan nazi-nya. Lalu pertanyaannya, bagaimana bisa tulisan Anne segitu berpengaruhnya dan dapat membuka mata orang banyak ??, tentu (sejauh yang saya pahami), karena Anne menulis dengan perasaannya. Dia menyertakan jiwanya dalam tulisannya, yang hingga sampai kapanpun dia akan terus dikenang, terus abadi, dan akan menceritakan kisahnya secara langsung kepada siapapun yang membaca catatan hariannya. Jadi, tidak berlebihan kalau saya katakan di depan, bahwasanya menulis merupakan sebagian dari merasa-nya manusia. Bukan hanya lelucon illogical, apalagi jika hanya dibandingkan dengan uang semata. Karena itu, Terlalu rugi orang yang tidak menulis !!

Keterangan :
[6] Buku harian Anne Frank telah terjual lebih dari 30 juta copy dan telah diterjemahkan ke dalam kurang lebih 60 bahasa. Setelah injil, buku harian Anne Frank merupakan buku non fiksi yang paling banyak dibaca di dunia.

(part I) MENULIS: BEKERJA UNTUK KEABADIAN[1] TENTANG PERAN “MENULIS” SEBAGAI SEBUAH SISTEM FONDASIONAL KE-DIRI-AN DAN PERADABAN MANUSIA

www.uinjkt.ac.id


Merenungi Kembali Sakralitas Menulis

Sebenarnya sudah lama saya ingin membuat catatan sederhana tentang hal ini. Tentang sebuah kegiatan yang menurut saya sangat unik dan penuh dengan pijar-pijar keajaiban yang terkandung di dalamnya. kegiatan yang ingin saya informasikan kepada semua orang, kegiatan yang ingin saya doktrinkan di otak mereka lalu mereka pun menjadi candu terhadapnya, khususnya bagi teman-teman atau siapapun yang ada di dekat saya. Tentu, menyemarakkan kegiatan menulis ini tidak bisa jika hanya melalui pidato-pidato, ceramah-ceramah atau ocehan-ocehan yang saya lontarkan setiap harinya. Mengajak mereka menulis, ya harus lewat menulis itu sendiri. Menulis sebagai langkah awal ibda’ binafsi dan karya tulisan sebagai langkah selanjutnya dalam bingkai dakwah tadi.

Kembali merenungi, berarti saya mengajak anda sejenak untuk melupakan masalah-masalah yang ada di pikiran kalian, khususnya pikiran-pikiran yang berkaitan dengan “membuat makalah”, “perasaan terhadap seseorang” ataupun “gejolak kegelisahan yang biasa terjadi pada darah pemuda, khususnya mahasiswa”. Saya yakin, semua itu akan bisa anda atasi dengan sebuah kegiatan sederhana, yakni menulis. Akan tetapi, sebelum anda memegang keyakinan itu dan menyumpah saya akan pernyataan itu, ada baiknya kalau kemauan atau kesadaran tersebut anda munculkan bukan dari bisikan indah saya, melainkan muncul dari lubuk hati yang paling dalam dan lautan pikiran yang paling jernih. Untuk itu mari kita merenungkan dan membahas sejenak, apa sebenarnya menulis itu ?, bagaimana peran menulis dalam sebuah kehidupan ?, lalu manfaat apa yang akan kita dapatkan dari menulis ?.
Secara sederhana, menulis dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan mencatat dan menyampaikan. Mencatat karena kita memindahkan sesuatu ke dalam tulisan, menyampaikan karena tulisan adalah sesuatu yang dibaca, siapa pun pembacanya, bahkan jika ia penulisnya sendiri.[2]

Menulis saya katakan adalah sebuah kegiatan yang penuh dengan nilai sakralitas dan penuh dengan sarat totalitas. Dalam artian, menulis merupakan sebuah kegiatan yang paling dapat mewakili jiwa seorang manusia dan apa yang menjadi karakternya. Karena dalam kenyataannya, lidah dan ucap manusia sama sekali tidak cukup atau bahkan tidak sanggup untuk mengungkapkan dan menggambarkan apa yang sedang dipancarkan oleh si manusia tersebut. Bahasa verbal terlalu sempit, perbendaharaan kata terlalu miskin untuk dapat menceritakan isi perasaan dan pikiran manusia. Jadi tak heran jika para pemikir, filosof, sufi, dan kalangan ulama merasa berkewajiban untuk berkarya dalam bentuk tulisan, disamping mereka juga mengisi kuliah-kuliah dan pengajian-pengajian umum. Disinilah yang saya pahami, mereka berpikiran bahwasanya tulisan lebih bisa menangkap apa yang mereka maksud dan lebih jelas, lebih tegas dalam mengupas apa yang mereka pikirkan. Untuk itulah menulis menjadi sesuatu yang teramat sakral, sebagai garda terdepan dalam perannya sebagai penterjemah dan pengulas jiwa manusia itu sendiri, sebagai manifestasi keberadaan manusia itu sendiri. Dengan menulis, seseorang berarti sedang mewujudkan dirinya sendiri dalam keberadaan, lalu mewujudkan keberadaannya dalam lingkungan sekitar, bersama manusia-manusia lainnya, dan kedalam sebuah peradaban tentunya. Manusia tanpa menulis sama dengan kosong !.

Menulis Sebagai Bagian Dari Berpikir[3]

Selalu dikatakan khususnya dalam ilmu logika atau manthiq bahwasanya manusia senyatanya tak lebih dari seekor hewan. Dengan nafsu dan tabiat hewani yang dimilikinya, manusia tak ubahnya seperti hewan itu sendiri, makan, minum, melakukan hubungan seksual dan mengejar segala apa yang menjadi keinginannya dengan nafsu, dengan syahwatnya. Akal, hanya akallah satu-satunya yang dapat membedakan mana manusia, mana hewan. Dengan akalnya manusia dapat memilah dan memilih, dengan akalnya manusia dapat mengatur dan mengontrol nafsu syahwatnya. Dengan akal manusia diberi kesempatan untuk berpikir !. Dengan premis-premis diatas dapat diambil satu kesimpulan yakni hakikat manusia adalah berpikir. Tidak berpikir, bukan manusia. Bukan manusia, tak ubahnya adalah hewan yang melata. Hewan yang melata, tak sedikitpun martabat menempel padanya !.

Jelaslah bahwa berpikir adalah manusia itu sendiri, tak dapat dibedakan dan tak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu-kesatuan yang membentuk seonggok daging yang Allah beri nama MANUSIA. Manusia dengan akal pikirannya mampu melakukan apa saja. Apa yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang mustahil, terwujud berkat kesaktian akal pikiran manusia. Tentu, didalam proses berpikir, apalagi mengenai sesuatu yang besar, manusia membutuhkan sebuah bantuan, sebuah tandem yang pas untuk merealisasikan pikiran tersebut. Dan menulis adalah pasangan serasi dan paling cocok bagi proses berpikirnya manusia. Mengapa bisa demikian adanya ?, akan saya paparkan lebih jelas dan lebih runtut berikut ini :

Ada dua hal pokok yang menjadi tonggak kerangka berpikir manusia sekaligus menjadi alur bagi proses berpikir itu sendiri. Pertama mengingat, kedua memilah dan menstrukturalisasi pikiran tersebut. Pada tahap pertama dalam proses berpikir, manusia dituntut untuk mengingat dan menyimpan hal-hal yang dia ketahui. Dalam tahap ini, tidak semua manusia mampu mengingat apa yang pernah ia pelajari atau ia ketahui. Karena memang otak manusia memiliki system yang hampir sama dengan lemari penyimpanan surat-surat atau arsip-arsip di sebuah kantor pajak. Data atau arsip yang terdahulu akan diletakkan di dasar laci, lalu diatasnya akan ditumpuki arsip-arsip atau data-data yang baru datang. Untuk mencari arsip yang agak lama tersimpan, petugas pajak haruslah mengorek-ngorek dulu tumpukan arsip yang berjubel banyaknya itu. Dibongkar satu per-satu, dilihat, diperiksa, barulah arsip yang dimaksud akan ditemukan. Otak manusia?, sama saja. Ia diibaratkan seperti sebuah laci data yang begitu besar, yang tak akan penuh walaupun habis zaman. Semua data manusia di masa kehidupannya, semua akan tersimpan rapi dalam laci tersebut. Data ingatan tentang warna atap rumah sakit persalinan waktu dia dilahirkan, sampai sebatang rokok dji sam soe yang dia hisap sedetik sebelum sakaratul maut, semuanya tersimpan dan terdata lengkap. Ketika seorang manusia ingin mengingat sesuatu, tentu dia akan diam sejenak mencari-mencari data mengenai hal itu. Kebanyakan mereka gagal dalam mengingat hal tersebut, mengapa? Tentu karena disamping datanya sudah terlalu usang dan terletak di tumpukan yang paling bawah, dia juga hanya mengandalkan otaknya sebagai alat pengingat. Menulis adalah problem solving yang paling tepat dalam permasalahan diatas. Tanpa disadari, dengan menulis apa yang pikirkan atau diingat, manusia secara tidak langsung telah mengulang dan memberdayakan organ lainnya selain otak untuk turut serta mengingat dan menyimpan data tersebut. Oleh karena itu, sesuatu yang kita tulis lebih bisa diingat daripada sesuatu yang tidak kita tulis. dan anda pun akan merasakannya juga saat anda menulis. Seorang teman mengingatkan saya sebuah syi’ir tentang hal ini.

العلم كالصيد, Ùˆ الكتابة قيده  #  Ù‚يد صيودك بحبل الوثيقة
“Ilmu itu bagiakan hewan buas, menulis adalah ikatnya. Oleh karena itu, ikatlah hewan buasmu dengan tali yang kuat”

Kedua, menulis membantu manusia dalam menstrukturalisasi ide atau pikiran-pikirannya, membantu menyusun dan mengkategorisasi ide tersebut. Dengan menulis, seseorang akan lebih bisa menyampaikan pikiran atau idenya secara lebih runtut, lebih urut mulai A hingga Z. tak heran jika dalam etika penulisan ilmiah ada beberapa hal yang diperhatikan, disamping terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh siapapun yang ingin menulis sebuah kajian ilmiah. Semisal harus ada latar belakang penelitian, latar belakang kajian, metodologi penelitian, dan lain-lain. Semua itu semata-mata hanya untuk mentertibkan alur pikiran manusia yang tidak beraturan. Mensistematisasi ide-ide yang berkeliaran lalu mengulasnya dalam bingkai alur penulisan yang mengalir, dengan begitu pikiran manusia pun akan tersampaikan dengan lengkap dan jelas teratur. Sesuatu yang tidak akan bisa dilakukan jika hanya mengandalkan bahasa dan ucap manusia. Dengan begitu, Harus menulis !. seperti yang  dicontohkan pendekar tanpa nama ketika dia sadar bahwa menulis dapat mengkonstruksi ingatannya dan berguna untuk membongkar teka-teki yang menghantuinya selama ini.[4]

“Cogito ergo sum”, dengan berpikir/menyadari maka aku ada. Coba perhatikan premis-premis berikut ini. Dengan berpikir manusia menjadi ada, manusia ada karena manusia berpikir, berpikir dinilai nihil jika tidak disertai dengan menulis, menulis adalah bagian dari berpikir, kesimpulannya: manusia menjadi ada karena dia menulis. Menulis menandakan seorang itu berpikir, sekalipun yang ditulisnya bukanlah sesuatu yang penting, yang hanya teruntuk bagi dirinya sendiri. Orang mengatakan bahwasanya dia berpikir, tapi tak satu tulisan pun yang dia hasilkan, maka “berpikirnya” orang tadi masih diragukan dan patut dipertanyakan. Kembali pada ungkapan Rene Descartes diatas, salah seorang filosof rasionalis yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Dengan ungkapan itu dan beberapa premis yang telah kita uji, bisa disimpulkan bahwasanya menulis berkaitan erat dengan eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan bisa dikatakan menulis adalah keberadaan manusia itu sendiri. Sebenarnya hal ini sudah saya kutip pada awal pembahasan tulisan ini tentang sakralitas menulis. Lalu, manusia lewat menulis, akan memanifestasikan dirinya sendiri dalam lingkungan sekitarnya. Dengan begitu, eksistensinya terhadap manusia dan mahluk lainnya pun akan terwujud dengan sempurna dan total. Jadi tak salah jika R.A. Kartini mengatakan bahwasanya menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulislah, maka engkau akan ada !!. Menulislah, maka engkau akan abadi !!. masih terdengarkah di telinga anda akan perkataan nyai ontosoroh kepada minke menantu yang paling disayanginya ?, “tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun?, karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari.”[5] menulislah kawan !.

Keterangan :      
[1] Ungkapan R.A. Kartini yang diabadikan oleh Pramoednya Ananta Toer.
[2] Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi 1 -Jurus Tanpa Bentuk-, Hal : 301, Gramedia 2009.
[3] Sebuah Frase yang dipopulerkan oleh Anas Shafwan Khalid (Pendiri/Pengasuh Pesantren Saung).
[4] Seno Gumira Ajidarma, Nagabumi 1, Hal : 299.
[5] Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, Hal : 112, Lentera Dipantara 2011.

Dari berbagai sumber.

SEJARAH JILBAB/KERUDUNG DI INDONESIA



Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi salah satu budaya materi yang mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam konteks cara pandang si pembuat dan pemakainya, dan berakibat pada perubahan makna dan model Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri. Sehingga menurut hemat penulis dengan Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri akan cukup menjelaskan cara pandang masyarakat pendukung budaya Kerudung/Hijab/Jilbab ini.

Sejarah dan Perkembangan Kerudung/Hijab/Jilbab
Kerudung/Hijab/Jilbab awalnya adalah sebuah benda yang kemunculanya akibat dari dorongan syaraiat, artinya munculnya ide budaya materi Kerudung/Hijab/Jilbab adalah berasal dari hukum Alloh yang jelas, sudah diberi definisi dan ketentuan apa yang dimaksud, dan dalam kadar seperti apa sesuatu bisa disebut sebagai sebuah Kerudung/Hijab/Jilbab (Al ~ Qur’an surat An – Nur (24): 31). Sehingga manusia tinggal memahami kemudian mewujudkanya. Dalam konteks ini, penulis menafsirkan awalnya Kerudung/Hijab/Jilbab masih sebatas sebagai fungsi teknis, artinya baru sebatas sebagai sebuah benda yang memiliki fungsi untuk menutupi bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat oleh orang lain, untuk menghindari maksiat bagi yang melihat( Al ~ Qur’an surat Al – Ahzab (33): 59). Kemudian fungsi Kerudung/Hijab/Jilbab tidak hanya sebatas sebagai fungsi teknis saja. Karena dalil tidak sebatas itu dalam memerintah, akan tetapi Kerudung/Hijab/Jilbab juga sebagai sebuah identitas bagi si pemakainya. akibatnya masyarakat Arap yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab sesuai syariat memiliki identitas sosial baru, yaitu sebagai seorang wanita muslim yang dihormati dan lelaki segan dan tidak menggangu, demikianlah catatan sejarah berkata. Sehingga jika Kerudung/Hijab/Jilbab dikaitkan sebagai sebuah identitas sosial kaitanya dengan keagamaan, maka pembacaan Kerudung/Hijab/Jilbab berkembang lagi, tidak hanya sebatas teknofak, dan sosiofak akan tetapi fungsi ideofak otomatis juga melekat karena Kerudung/Hijab/Jilbab adalah bagian dari syariat agama islam, yang tak lain islam sebagai sebuah ideologi bagi sebagaian manusia dimuka bumi ini.
Abad ke 7 adalah abad dimana awal perintah berkerudung/berhijab, dalam konteks abad ke 7 di semenanjung Arabia, kondisi sosial masyarakat jauh dari pengaruh peradaban dua imperium besar yaitu Romawi dan Persia.(lihat: sejarah Muhammad, M Husein Haekal) Hal ini sebagai dampak dari geomorfologi Arab yang terpencil dan terkukung dari pegunungan dan padang pasir, hal ini berdampak pada pengaruh budaya yang cukup kecil terjadi, sehingga apa yang dikembangkan oleh masyarakat masih sesuai dengan doktrin yang ada di lingkungan masyarakat Arab. Kerudung/Hijab/Jilbab sebagai sebuah hasil pemahaman atas dalil agama juga belum mengalami perubahan akibat pengaruh dua pusat kebudayaan dan masih sesuai dengan makna, dan ketentuanya, yang dimaksud disini sesuai dengan dalil adalah Kerudung/Hijab/Jilbab berarti: kain penutup kepala sehingga kain menjulur hingga dada. Hal ini dapat ditarik sebuah pengetian bahwa masyarakat pendukung kebudayaan Kerudung/Hijab/Jilbab pada awalnya masih memegang teguh ketentuan-ketentuan dalil tentang Kerudung/Hijab/Jilbab, dan belum terfikirkan untuk merubah makna Kerudung/Hijab/Jilbab. Pasca islam pada abad ke 9-12 mengalami perkembangan dan persebaran mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainya, misalnya di sebagaian Negara timur-tengah berkembang model Kerudung/Hijab/Jilbab dengan cadar, burqa, niqop, dan masker, kemudian berkembang pula di Nusantara atau Melayu abad 19 Kerudung/Hijab/Jilbab selendang yang tidak menutupi penuh kepala, dan hanya di selampirkan. di kawasan timur juga berkembang Kerudung/Hijab/Jilbab dengan motif hiasan tertentu sesuai dengan konteks lingkunganya, tidak sebatas polos tanpa motif, dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa ada sebuah perkembangan dalam berupaya untuk menafsiakan Kerudung/Hijab/Jilbab. Faktorya tentu banyak, hal ini terkait dengan kondisi sosial budaya, lingkungan, dan pemahaman atas dalil agama.
Singkatnya dalam konteks kondisi sosial-budaya misalnya: pendapat yang masih menjadi perdebatan para ahli, bahwa khusunya di Jawa pada abad 19, masih sedikit masyarakat yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab sesuai ketentuan dalil, hanya sebatas selendang yang diselampirkan di kepala, hal ini sebagaian berpendapat bahwa, hal ini sebagai dampak pola penyebaran agama islam yang dilakukan oleh Wali Songo, yang sangat toleran dengan budaya lokal, sehingga pada waktu itu Wali Songo baru menyampaikan masalah Teologis belum sampai pada masalah fiqih Kerudung/Hijab/Jilbab, karena menyadari bahwa hal ini akan merubah budaya berpakaian masyarakat jawa yang sangat mencolok. Contoh lain dalam konteks kondisi lingkungan alam: misalnya pada masyarakat di Melayu, yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab dengan bahan dan motif yang lebih variatif, hal ini menggambarkan kondisi bahan baku Kerudung/Hijab/Jilbab, yang sesuai dengan kondisi sumber daya alam masyarakat pendukungnya. Dan contoh yang terakhir adalah perubahan Kerudung/Hijab/Jilbab karena pemahaman dalil agama yang menyebabkan berubahanya Kerudung/Hijab/Jilbab. Misalnya saja Cadar yang masih menjadi perdebatan para ulama dalam hal keharusanya memakai.
Dari semua proses dari awal pemahaman manusia atas dalil agama yang menyebutkan keharusan berkerudung/berhijab, hingga abad selanjutnya dalam proses perubahan Kerudung/Hijab/Jilbab dapat dimaknai bahwa manusia pendukung budaya materi Kerudung/Hijab/Jilbab memiliki pola fikir pada dimensi Kerudung/Hijab/Jilbab sebagai sebuah benda materi sacral, karena ini adalah perintah Alloh, sehingga tidak ada inovasi yang berarti, jika ada hal ini disebabkan karena factor-faktor yang sebenarnya bukan melenceng dari anggapan kesakralan itu sendiri, ini hanya terkait dengan factor teknis saja, belum beranjak pada masalah pergeseran ideologi.

Memaknai Fenomena Perubahan Budaya Materi: Kerudung/Hijab/Jilbab Kreatif
Yang dimaksud Kerudung/Hijab/Jilbab Kreatif dalam hal ini adalah sebuah Kerudung/Hijab/Jilbab yang penulis anggap hilang dari sisi nilai-nilai ideologis sebagai dasar kemunculnya, dan bergeser yang lebih menonjol pada sisi gaya hidup atau sebuah mode. Sehingga Kerudung/Hijab/Jilbab disini mengalami pergeseran makna, dari sacral menjadi profane. Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif hari ini juga telah menjadi symbol-simbol lapisan sosial, tentusaja maksud penulis bukan sebatas symbol lapisan sosial dalam kontek antara agama, seperti pada permulaan munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri, akan tetapi sebagai sebuah symbol lapisan sosial dalam kontek klasifikasi tingkatan ekonomi. Selanjutnya penulis juga menemukan sebuah fenomena yang cukup menarik bahwa fenomena Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif telah menarik segelintir orang untuk mengapresiasi melalui sebuah perkumpulan yang dipersatukan atas dasar budaya materi ini. Ternyata hobi, kegemaran dan bisnis memakai Kerudung/Hijab/Jilbab ini mengispirasikan sekelompok wanita untuk mendirikan sejumlah situs untuk mempromosikan dan kemudian mempunyai basis massa dan visi-missi tertentu.
Kemudian munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif juga menumbuhkan sebuah klasifikasi yang baru, hal ini sebuah fenomena yang biasa dalam konteks zaman sekarang. Misalnya kita berangkat dari sebuah contoh, agar mudah menggambarkan hal ini. Lagam atau model pada budaya materi celana jeans misalnya, tahun 70-an umum telah berkembang model calana jeans cutbrai, baru pada tahun 90-an model ini sempat menghilang, dan kembali muncul tahun 2007. Kemudian model ini tahun 2010 menghilang karena model celana jeans pensil. Gaya celana pensil ini secara otomatis akan menganeliasi gaya cutbraiy, sehingga jika ada remaja yang masih memakai celana jeans cutbraiy saat ini dalam perspektif klasifikasi fashions dia akan masuk pada golongan mode kuna. Hal ini terjadi secara otomatis, sehingga celana pensil dalam waktu sekejap menjamur dan dipakai segala lapisan masyarakat yang selalu tidak mau ketinggalan mode. Nampaknya begitu juga dengan Kerudung/Hijab/Jilbab ini. Kerudung/Hijab/Jilbab ini mulai menjamur,apalagi dengan dukungan media massa dan elektronik, Kerudung/Hijab/Jilbab ini siap-siap akan menjadi pusat perhatian baru, sehingga masyarakat akan banyak memburu model ini. Dalam perkembangan waktu seperti yang berlaku pada celana jeans, bahwa jika masih ada yang menggunakan Kerudung/Hijab/Jilbab “formal” maka secara otomatis dia akan masuk dalam klasifikasi gaya era masa lalu, tentu hal ini melalui kacamata masyarakat pengagum mode.
Kemunculan mode ini memang tidak datang sesederhana seperti apa yang kita banyangkan. Kemunculan ini tentu melalui beberapa fase dan kepentingan. Ada beberapa tahapan yang penulis jabarkan disini tentu dalam kontek Indonesia. Pertama: bahwa munculnya Kerudung/Hijab/Jilbab yang marak di Indonesia baru muncul pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Pada waktu itu ditandai dengan munculnya kerudungisasi dikalangan masyarakat kampus. Orde Baru adalah dimana Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi sebuah hal yang masih awam untuk dipakai. Hal ini memang sangat terkait dengan situasi politik dan budaya pada masa itu. Peperangan yang panjang pasca kemerdekaan, sampai kondisi pemerintah yang antipati terhadap gerakan ekstrimis kanan yang terwakilkan oleh gerakan DII dan Negara Islam Indonesia hingga terakhir tragedi Tanjung Priok berdampak pada pengamalan agama islam. Selain itu juga kebijakan pemerintah yang cukup represif terhadap pengawasan kegiatan pengamalan agama dan siar islam yang dilakukan sejumlah organisasi islam juga berdampak pada sosialisasi atas Kerudung/Hijab/Jilbab ini, sehingga dampaknya sangat terlihat pada masa Orde Baru sedikit muslimah yang memakai Kerudung/Hijab/Jilbab. Kedua: era tahun 90-an, pemerintah cukup mulai memperhatikan kehidupan beragama. Hal ini sebagai sebuah dampak dari kehidupan pribadi Soeharto yang sudah mulai berusia lanjut. Religiusitas Soeharto meningkat ditandai dengan berangkatnya haji dan umroh yang selalu dipertontonkan melalui media, hal ini dampaknya cukup bagus, kelonggaran beragama mulai ditunjukan dengan beberapa surat keputusan presiden yang dikeluarkan.
Ketiga: pasca reformasi ada sekolompok masyarakat yang menginginkan kehidupan islami di setiap lini aktivitas, dan juga dibarengi dengan kebebasan berekspresi, hal ini semakin mempermudah segala aktivitas hidup sesuai dengan ideologi masing-masing. Keempat: kemudian fase yang terakhir inilah yang menyuburkan symbol-simbol agama dipakai dalam kehidupan, termasuk Kerudung/Hijab/Jilbab. Sebuah catatan yang penulis tekankan adalah pada awalnya masyarakat belum berfikiran akan memodifikasi gaya Kerudung/Hijab/Jilbab mereka. hal ini tentu saja dapat dipahami bahwasanya, masyarakat baru belajar memakai simbol baru yang sebenarnya sudah lama dikenal, dampaknya adalah normative, dan masih sesuai dengan ketentuan yang selaras dengan dalil.
Fase selanjutnya memang Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi trend masyarakat muslimah indonesia. hal ini mendorong pula dimunculkanya aturan-atruran yang melegalkan Kerudung/Hijab/Jilbab, terutama di instansi-instansi islam yang sebagai lembaga pendukung kebudayaan ini. Dampaknya massive Kerudung/Hijab/Jilbab menjadi hal yang biasa atau lumrah pada perkembangan selanjutnya. Kelumprahan inilah sebenarnya akar dari sebuah upaya desakralisasi Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri, ditambah penekanan pada esensi kewajiban berkerudung bagi seorang muslimah mulai ditinggalkan, dan hanya sebatas peraturan berkerudung yang diberlakukan, terutama untuk sekolah islam. Tentu saja hal ini tidak mewadahi jikalau muncul sebuah apologistik, terhadap esensi berkerudung.
Kepentingan Pasar Sebagai Pengaruh
Pasar adalah kekuatan yang selalu mendorong sebuh perubahan kebudayaan. Kepentingan pasar tidak akan toleran terhadap nilai-nilai dan batas norma tertentu. Karena dalam kacamata kepentingan pasar, keuntungan adalah segalanya. Jikalau keuntungan itu harus diupayakan dengan menerobos batas-batas kemanusiaan, bukanlah menjadi persoalan. Perspektif ini akan terus berlaku terutama bagi dunia moderen yang menitik beratkan pada financial sebagai tolok ukur suatu keberhasilan kehidupan. Sehingga banyak orang yang berusaha mengupayakanya hingga titik darah penghabisan.
Sejumlah produsen pasca menjamurnya pemakai Kerudung/Hijab/Jilbab, sangat menyadari sebuah peluang keuntungan dari adanya trend ini. Hal ini tentu memacu munculnya kreativitas untuk menghasilkan sebuah produk yang mampu menarik konsumen lebih banyak. Inovasi-inovasi mulai dari Kerudung/Hijab/Jilbab yang praktis dipakai, indah dengan berbagai aksesorisnya, dan berbahan kain tertentu yang semuanya memanjakan bagi pemakainya, menjadi trend selanjutnya. Menurut salah satu produsen Kerudung/Hijab/Jilbab diindonesia yang dikutip dari republika co.id menuturkan bahwa: pengaruh televisi dan media massa lain menyebabkan beragamnya pilihan gaya busana keseharian. Meski tetap patuh pada pakem, setiap Muslimah lebih berani mengeksplorasi gaya dengan tampilan berbeda dengan busana muslim sesuai karakter personal. Menurut ia Aplikasi Kerudung/Hijab/Jilbab juga tak ketinggalan. Prinsipnya, kaidah berbusana Muslim tetap dijalankan, namun perempuan masih bisa bereksplorasi dengan Kerudung/Hijab/Jilbabnya, kata dia. Selama ini, busana Muslim tidak lagi identik dengan kesan feminin. Sekarang ini, mulai bermunculan jilbab bergaya sporty. Adapula, jilbab bergaya Hoodie, yakni jilbab dengan penutup kepala namun menutupi bagian dada dengan detail mengkerut sehingga sehingga tidak perlu lagi mengenakan kalung atau rantai.
Kemudian dalam beberapa episode pembiritaan dalam republika disebutkan bahwa beberapa komunitas jilbab telah menjamur, motif mereka sebenarnya adalah keprihatinan akan kondisi pasar jilbab yang dikuasai oleh pasar asing seperti cina dan timur tengah. Atas keprihatinanya tersebut mereka berusaha menciptakan produk mandiri untuk memenuhi pasar dalam negeri. Meskipun gaya masih banyak mengadopsi gaya luar. Adapun contoh komunitas yang sekaligus menjadi nama situs internet adalah Hij Up, dan Jilbab Cantik. Sekarang telah ada berpuluh-puluh gaya jilbab contohnya: Chrysant, Rose, Orchid, Jasmine, Sakura dan Tulip, Daisy dan Violet. Selain bisnis, mereka mempunyai alasan untuk mesosialisaikan jilbab kepada masyarakat yang belum memakainya. Sengan cara mengembangkan model diharapkan masyarakat semakin mencintai jilbab.
Dalih untuk menciptakan gaya untuk menambah kesan Kerudung/Hijab/Jilbab mampu menampung aspirasi bagi setiap individu si pemakainya menjadi salah satu alasan yang berkembang saat ini. Sebenarnya jika kita berfikir positif tentu hal ini sah-sah saja. Jika benar dan konsisten apa yang dikatakan oleh produsen tadi bahwa tanpa melanggar koridor hukum, atau kaidah Kerudung/Hijab/Jilbab, jangan sampai gaya mengorbankan esensi Kerudung/Hijab/Jilbab. sebenarnya Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif tidaklah buruk dampak kemunculanya. Alasanya hal ini akan meningkatkan minat para muslimah untuk memakai Kerudung/Hijab/Jilbab. Selain itu dengan adanya banyak pilihan model Kerudung/Hijab/Jilbab, muslimah yang belum memakainya akan lebih tertarik.
Hal yang disayangkan adalah penekanan akan Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif hanya berhenti pada wilayah fashion atau gaya saja. Sehingga nilai-nilai atau esensi akan Kerudung/Hijab/Jilbab itu sendiri tidak diketahui oleh pemakainya. Memang penulis akui bahwa hal ini bukan tugasnya para produsen, terlebih bagi produsen yang hanya mengejar keuntungan. Akan tetapi setidaknya jika memang ada sejumlah produsen yang peduli akan hal ini, tentusaja seharusnya produsen akan berimbang dalam memproduksi Kerudung/Hijab/Jilbab yaitu antara kreatifitas dan sesuai dengan koridor berkerudung/berhiijab yang benar. Tentu saja hal ini juga bagi para pemakainya. Jika para pemakai menganggap bahwa Kerudung/Hijab/Jilbab adalah bagian dari perintah agama yang tentu saja sacral dan tidak boleh di modifikasi yang mengarah pada pelanggaran akan pakem dalil, maka seharusnya para pemakai harus sadar bahwa Kerudung/Hijab/Jilbab dengan gaya yang tidak sesuai seharusnya jangan dibeli atau dipakai.
Lahirnya komunitas pecina Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif setidaknya juga ikut mensosialisasikan bagaimana Kerudung/Hijab/Jilbab yang normative itu. Kalaupun mereka ingin menciptakan model atau gaya yang baru, hendaknya itu harus dibarengi dengan penjelasan-penjelasan atau batasan-batasannya. Sehingga peran komunitas ini tidak sebatas pada sosialisasi trens masa kini, akan tetapi juga flashback pada masa lampau tentang hakekat Kerudung/Hijab/Jilbab itu di syariatkan.
Kesimpulan
Dari fenomena perubahan budaya materi Kerudung/Hijab/Jilbab tersebut penulis akan berusaha menyimpulkan bahwasanya ada beberapa hal yang ditekankan disini. Yang pertama adalah terdapat perkembangan gaya dalam budaya materi ini, hal ini menandakan bahwa proses transformasi nilai-nilai atau pemaknaan akan budaya materi ini tidak sepenuhnya tersampaikan. Hal ini diakibatkan oleh beberapa factor budaya, sosial, politik dan lain sebagainya yang menunjukan proses yang sangat panjang perubahanya. Pada tahap perkembangan akhir pada Kerudung/Hijab/Jilbab kreatif ada beberapa hal yang dapat dibaca bahwa telah terjadi penyimpangan pemahaman terhadap esensi pemakianya. Sehingga tahap awal Kerudung/Hijab/Jilbab yang masih dalam dimensi ekofak, sosialfak dan ideofak, berkembang pula pada salah satu penekananya yaitu sosialfak. Artinya penekanan Kerudung/Hijab/Jilbab hanya pada wilayah atribut sosial atau penanda status sosial yang mempertegas perbedaan sosial si pemakainya. Hal ini jauh menyimpang dari hakekat makna Kerudung/Hijab/Jilbab sebenarnya.