BECOME A WORLD CLASS UNIVERSITY

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beranjak menuju universitas kelas dunia. Welcome to the world community.

Berprikir Kreatif

Untuk memecahkan problem social.

Berpretasi

Sebagai agen of change, mahasiswa bidikmisi harus berprestasi dalam segala bidang.

Indonesia Jaya

Yang muda yang berkarya.

Indonesia Jaya

Yang muda yang berkarya.

Kamis, 31 Januari 2013

KETIKA DUNIA BELAJAR PENGOBATAN


Bangsa Franken adalah nenek moyang bangsa Perancis.  Meski Perancis sekarang adalah salah satu negara maju, seribu tahun yang lalu mereka masih amat biadab, terlebih dalam ilmu pengobatan.
Bangsa Franken adalah peserta terbanyak dalam tentara Salib yang menguasai Jerusalem dan sekitarnya kira-kira seabad lamanya.  Karena di wilayah sudah banyak penduduk muslim, maka ada interaksi antara tentara Salib dan kaum muslim. Namun para jurnalis muslim banyak menceritakan kisah mengerikan meski sekaligus aneh dan lucu di antara tentara Salib.
Misalnya kisah dokter bernama Tsabit bertugas di Libanon. Para pembesar pasukan salib tidak begitu yakin dengan cara penyembuhan dokter-dokter Franken sendiri. Di ‘Negeri Suci’ ini, mereka, yang menderita berbagai penyakit kulit, perut mulas dan diare, ternyata lebih senang berobat kepada dokter-dokter muslim.
Suatu hari Tsabit pulang terlalu cepat.  Tsabit bercerita, “Kepadaku didatangkan seorang prajurit dengan kaki bengkak bernanah, dan wanita yang demam tinggi.  Untuk si prajurit aku balutkan perban hingga bengkaknya kempes dan berangsur membaik. Kepada wanita itu aku sarankan untuk diet dan memperbaiki kondisi tubuhnya dengan ramuan dari bahan herbal.
Tiba-tiba datanglah seorang dokter Franken dan berkata: ‘Ia tak tahu apa-apa untuk dapat menyembuhkan mereka.’ Maka ia hampiri si prajurit dengan pertanyaan: ‘Pilih, mana yang lebih kamu sukai, hidup dengan satu kaki, atau mati dengan dua kaki?’ Si prajurit menjawab: ‘Hidup dengan satu kaki.’ Maka berserulah sang dokter Franken: ,Datangkan kepadaku seorang prajurit yang kuat dengan sebuah kampak yang tajam!’ Seorang prajurit dengan sebuah kampak tajam pun muncul. Aku masih berdiri di situ. Sang dokter lalu meletakkan kaki bengkak itu di atas sebuah balok kayu dan memerintah si prajurit berkampak: ,Penggallah kaki itu dengan sekali ayunan kampakmu!’ Tanpa ragu si prajurit menebaskan kampaknya sekali, tapi ternyata kaki sakit itu belum juga terputus. Ditebaslah kaki itu sekali lagi dengan kampak. Maka mengalirlah sungsum tulang di kaki terpenggal itu. Dan prajurit yang malang itu pun tewas sejam kemudian.
Sang dokter Franken beralih memeriksa wanita yang demam itu dan berkata: ‘Wanita ini kesurupan jin yang jatuh cinta kepadanya. Potonglah rambut di kepalanya.’ Seseorang lalu memotong rambut wanita itu. Seterusnya wanita itu kembali lagi makan hidangan ala negeri asalnya.  Panas di tubuhnya meninggi. Sang dokter berkata: ‘Jin di dalam tubuhnya telah naik di kepala.’ Bersamaan dengan ucapan ini ia raih sebuah pisau cukur, ia sayat kulit kepala wanita itu menyilang dan ia kelupas sebagian kulit kepala itu sedemikian rupa sampai tulang tengkoraknya tampak jelas terlihat. Lalu ia taburkan sejumput garam pada luka sayatan. Sejam kemudian wanita itupun tewas.
Aku bertanya pada mereka: ‘Masih adakah tugas-tugas dari anda untukku?’ ‘Tidak.’ Karena itu pergilah aku, setelah aku ‘belajar’ cara penyembuhan mereka yang aneh, yang sejauh ini belum pernah aku kenal.”
Itulah kisah Tsabit yang diceritakan Amir Usamah ibnu Munkhid (1095 – 1188), seperti dikutip Sigrid Hunke dalam bukunya “Allah Sonne ueber dem Abendland”.
Cerita di atas bukan propaganda bermusuhan, juga bukan penghinaan dari lawan. Namun memang orang-orang Franken itulah yang justru bersikap memusuhi umat Islam.
Seratus tahun kemudian, seorang bangsawan Jerman yang pendek dan gemuk harus mati menyakitkan akibat ulah penganut Kitab Tawarikh. Sebagai pengiring Kaisar Heinrich IV dalam rombongan yang ke Italia, ia cemas, apakah tubuhnya yang berlemak itu dapat melewati sulitnya medan dan panasnya cuaca Italia. Karena itu ia berkonsultasi pada seorang dokter. Sang dokter ternyata langsung mengiris perut si bangsawan dan mengeluarkan lemak di dalamnya. Sebuah metode yang radikal sama halnya dengan yang dilakukan para dokter Franken.
Tidak ada sesuatupun cara pengobatan Pasukan Salib, yang dapat diambil pelajaran. Tidak ada yang pantas dipertahankan dari mereka di bidang kedokteran.
Di mana coba, di dunia saat itu terdapat dokter-dokter bermutu seperti di dunia Islam? Di mana terdapat perkembangan kedokteran yang begitu mekar seperti hasil pemikiran masyarakat muslim ini? Adakah di lain tempat sistem sanitasi dan apothek? Bisakah rumah-rumah sakit di mana pun di dunia saat itu menyamai canggihnya rumah-rumah sakit di kota-kota Khilafah? Kemajuan metode pengobatan mereka seiring dengan riset yang mereka lakukan. Masih adakah yang aneh, jika ternyata orang-orang Franken pun meminta bantuan pengobatan kepada mereka?
Para biarawan di gereja-geraja Eropa sering diminta umatnya memberi keajaiban penyembuhan, sebagaimana dulu al-Masih melakukannya.  Mereka menyembuhkan dengan usapan tangan, ritual pengusiran iblis, dan doa bersama.  Mereka menolak obat-obatan apapun, baik yang dari tumbuhan, hewan maupun kimia, karena itu dianggap tanda tipisnya iman kepada Tuhan.
“Ilmu obat-obatan dalam segala bentuknya berasal dari tipu-daya yang sama,” — tuduh Tatian, seorang penginjil, atas orang-orang yang percaya pada obat-obatan alami. “Bila seseorang menggunakan obat yang ia percayai, maka ia tidak akan lebih banyak disembuhkan, ketika ia sendiri melupakan Tuhan. Mengapa kamu tidak berserah diri saja kepada Tuhan? Relakah kamu disembuhkan seperti anjing dengan rumput, kijang dengan ular, babi dengan kepiting, singa dengan kera? Mengapa kau pertuhankan hal-hal duniawi?”
Pengkhotbah Salib Bernhard von Clairvaux (1090 – 1153), dengan tegas melarang para biarawan, yang sering sakit karena kondisi udara yang buruk, untuk berobat pada dokter muslim dan menggunakan obat, karena “tidak sepatutnya membiarkan kesucian jiwa berada dalam bahaya melalui penggunaan obat-obatan duniawi.”
Paus Innocentius III dalam Konsili Lentera pada 1215 menjadi kewajiban yang harus ditaati: Atas putusan dari sebuah komite gereja, seorang dokter dilarang menangani pasien, sebelum si pasien melakukan pengakuan dosa. Sebab penyakit itu berasal dari dosa.  Hal yang di abad-21 ini nyaris ditiru seorang Ustadz penyembuh di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.
Bandingkan situasi suram di Eropa itu dengan sebuah surat dari seorang pengelana Eropa di dunia Islam.
“Ayahku! Kau bertanya, apakah kau harus membawa uang untukku. Bila aku sudah sembuh dan keluar nanti, rumah sakit akan memberiku pakaian baru dan lima potong emas, sehingga aku tak harus langsung bekerja. Kau pun tak perlu menjual ternak kepada tetangga. Tapi hendaknya kau segera datang, jika kau masih ingin menemuiku di sini. Aku terbaring di bagian ortopedik, bersebelahan dengan saal operasi. Bila kau datang melalui pintu masuk utama, berjalanlah lurus melalui aula bagian selatan. Di situ ada poliklinik, tempat aku diperiksa pertama kali setelah aku terjatuh. Di sana setiap pasien baru akan diperiksa oleh para asisten dokter dan mahasiswa, dan jika seseorang dianggap tidak perlu dirawat-nginap, maka ia akan segera diberi resep obat, yang dapat ditukarkan di apotek rumah sakit. Setelah diperiksa di sana aku lalu didaftar, lalu diantar menemui dokter kepala rumah sakit. Seorang perawat memapahku masuk ke bangsal pria, memandikan tubuhku dan mengenakan pakain pasien yang bersih. Di sebelah kiri kau dapat melihat perpustakaan, dan ruang kuliah besar berada di belakangmu. Di situlah biasanya dokter kepala memberikan kuliah kepada mahasiswa. Gang di sebelah kiri beranda adalah jalan menuju bangsal wanita. Kau harus tetap mengambil jalan sebelah kanan, terus melewati bagian internis dan bagian bedah. Bila kebetulan terdengar alunan musik dan lagu-lagu dari salah satu kamar, cobalah tengok di dalamnya. Boleh jadi aku sudah berada di sana, di sebuah ruang khusus untuk para pasien yang sudah sembuh. Di situ kita dapat membaca buku-buku sambil menikmati alunan musik sebagai hiburan. Pagi tadi, ketika dokter kepala bersama para asisten dan perawat dalam kunjungan kelilingnya menjenguk dan memeriksaku, kepada dokter yang merawatku ia mengatakan sesuatu, yang tak aku pahami. Maka ia lalu menjelaskan kepadaku, bahwa besok pagi aku sudah boleh bangun dan meninggalkan rumah sakit. Keputusan yang sebenarnya belum aku inginkan.  Rasanya aku masih ingin tinggal di sini lebih lama lagi. Di sini semuanya begitu bersih dan terang. Tempat-tempat tidurnya empuk, sepreinya terbuat dari kain damas putih dan selimutnya lembut seperti beludru. Dalam setiap kamar tersedia aliran air, yang akan dihangatkan bila malam yang dingin tiba. Hampir tiap hari disuguhkan masakan daging unggas atau domba panggang, yang sangat cocok bagi kondisi perut para pasien. Pasien di sebelahku telah dengan sengaja selama seminggu pura-pura masih sakit, hanya agar ia masih bisa menikmati kelezatan gorengan ayam dalam beberapa hari lagi. Tapi dokter kepala mengetahui hal itu. Karena itu ia pun disuruh segera pulang. Namun untuk menunjukkan bahwa pasien itu sudah benar-benar pulih kesehatannya, ia masih dibolehkan sekali lagi menyantap hidangan roti keju dan ayam panggang.  Nah, ayah, datanglah, sebelum daging ayam terakhir untukku dipanggang!”
Situasi sebagaimana yang digambarkan dalam surat di atas tentu tak perlu diragukan, andai itu ditulis pada abad ke-21 ini. Namun surat itu menggambarkan fasilitas dan pelayanan salah satu rumah sakit 1000 tahun yang lalu, yang ada di kota-kota besar Khilafah, yang membentang antara Himalaya di India dan Pyrenia di Perancis. Cordoba sendiri pada pertengahan abad ke-10 sudah mempunyai 50 rumah sakit. Pada jaman Harun Al-Rasyid, Baghdad sudah memiliki banyak rumah sakit terkenal.  Di situlah diterapkan ilmu kedokteran yang tidak lagi dari berasal dari takhayul, tetapi yang telah melalui percobaan ilmiah (kedokteran experimental).
sumber: http://famhar.multiply.com
Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar (Peneliti LIPI)

Senin, 28 Januari 2013

ANEKDOT PERBEDAAN FAHAM


Dikisahkan, pada zaman para imam, seseorang menggelar pameran gajah. Anehnya, pameran tersebut diadakan dalam tempat yang gelap, tanpa lampu dan tertutup. Kemudian sang penyelenggara mengundang imam empat.

Setelah mereka semua hadir, sang penyelenggara mempersilahkan satu persatu imam untuk masuk dan memperoleh informasi mengenai si gajah. Karena tidak ada penerangan, alias gelap, mereka imam empat hanya bisa meraba si gajah tersebut.

Dimulai dari imam pertama, si penyelenggara mempersilahkan dia masuk ruangan. Dan si imampun meraba-raba si gajah, kebetulan si imam meraba bagian kakinya, karena ketika masuk ia hanya bisa meraba-raba kaki si gajah. Setelah keluar, si imam menceritakan kepada teman-tamnnya, bahwa gajah itu besar dan panjang seperti tiang, sebagai penggambaran atas kaki gajah.

Selanjutnya, imam kedua masuk. Dan seketika imam itu menemukan bentuk telinga gajah tersebut, dan meraba-rabanya. Sehingga keluarlah si imam kedua tersebut, dengan membawa kabar bahwa gajah adalah lebar seperti tikar.

Imam ketiga pun masuk, dan dirabalah ekor gajah tersebut. Lama merabanya, ia hanya mendapatkan ekor, maka keluarlah dia dengan berita bahwa gajah itu seperti cemeti/pecut, lemes dan tidak kaku, tidak besar dan tidak pula lebar.

Terakhir, imam keempat masuk. Dan secara kebetulan, si gajah tidur, sehingga ia hanya mendapati perut si gajah, dan diraba-rabalah perut gajah itu. Kemudian ia keluar ruangan dengan memberitahukan bahwa gajah itu lebar dan besar, tidak seperti tikar yang lebar tapi pipih, tidak seperti tiang yang besar dan tinggi, dan tidak pula seperti cemeti yang seperti dikira imam ketiga.

Hingga akhirnya sang penyelenggara mengajak semua imam masuk ke dalam ruangan, dan menyalakan lampu. Lalu semua imam tersentak, ketika melihat bentuk dan wujud gajah yang sedemikian rupa. Dan mereka menyadari bahwa apa yang mereka simpulkan dari perabaan mereka bukanlah gajah yang sebenarnya, bukan gajah secara keseluruhan.

Sang penyelenggara pun mengatakan kepada imam empat, bahwa inilah ilustrasi atas perbedaan pandangan mengenai sesuatu.

###

Demikianlah, sang penyelenggara dengan bijaknya menyadarkan kepada imam empat (dan juga kepada kita) tentang kebenaran. Apapun yang kita yakini sebagai kebenaran, bukan tidak mungkin ada kebenaran lain yang diyakini kelompok lain. Akan tetapi, pandangan-pandangan seseorang yang berbeda tidak sepenuhnya layak disalahkan. Karena bisa jadi, kita memahami dari suatu sisi, dan orang lain memahami dari sisi lain. Itulah apa yang disebut kebenaran parsial.

(Khoirul Umam, FUF, BM 2011)

TELEVISI & PERUSAKAN MORAL


Kita semua sudah tahu banget apa saja yang tersuguh di layar kaca yang kita pelototin setiap harinya. Berbagai tayangan ada. Kita ambil contoh iklan. Periklanan di televisi kita tahu sendiri, merek apapun ditayangkan, dengan berbagai model pembawaan iklan, erotis dan asusila. Pemilik televisi pun masa bodoh dampak dari iklan yang ditayangkan. Tak berpikir apa yang akan merasuk ke dalam otak-otak pemirsanya.

Dari penayangan iklan-iklan erotis dan asusila itu akan membentuk pola pikir masyarakat (lebih-lebih pemuda) menjadi otak-otak ngeres dan jorok, entah disadari atau tidak.

Belum lagi penayangan sinetron yang tidak berisi nilai-nilai edukasi. Banyak kita jumpai sinetron-sinetron yang tak jelas jeluntrungnya (bahasa Jawa: tak jelas arahnya)Kekerasan, erotisme, asusila, dan sebagainya ditampilkan semua, demi keuntungan materi.

Memang, semua kembali pada diri masing-masing, tapi apakah kita tidak pernah berpikir mengenai dampak –sekecil apapun— dari penayangan-penayangan tersebut? Para pemilik stasiun televisi sungguh membingungkan, apakah mereka tak mengetahui kerugian moril dari semua itu? Atau memang belagak bodoh? (yang akhirnya membuat mereka benar-benar bodoh).

Membingungkan juga, mengapa Komisi Penyiaran Indonesia meloloskan semua tayangan-tayangan tanpa nilai tersebut. Semua seakan dihantui oleh keuntungan materi belaka.

(Khoirul Umam, FUF, BM 2011)

IMAM KHOMEINI & CERITA TOLERANSI


Oleh: Khoirul Umam/choir934@gmail.com, FUF, BM 2011
Pernah dimuat di Kompasiana, dibaca oleh 430 pembaca.


Ada cerita menarik sekaligus penting untuk kita ketahui, tentang sosok hebat Imam Khomeini, tokoh revolusi Iran, mengenai toleransi keberagamaan.

Sekitar masa-masa sebelum revolusi Iran 1979, terjadi pengasingan kepada tokoh besar Iran –Imam Khomeini. Imam diasingkan di Prancis dalam beberapa tahun. Ia hidup berdampingan dengan damai bersama-sama penduduk asli yang semuanya adalah pemeluk kristen. Tapi, bagi Imam, kristen atau apapun agamanya tidaklah penting, yang pasti adalah berdampingan dan menjalin harmonisasi.

Imam begitu biijak bergaul dengan mereka, tak tanggung-tangggung, si Imam selalu menyiapkan hadiah dan bunga untuk tetangga-tetangganya yang kristen terebut. Setiap kali ada perayaan keagamaan, Imam mengunjungi satu-persatu rumah para tetangganya, serta membagi-bagikan hadiah dan bunga sembari mengucap “Selamat merayakan hari natal,” selamat merayakan hari paskah” dan sebagainya. Sehingga membuat kagum para tetangganya.

Hingga berjalan beberapa tahun, saatnya-lah Imam beranjak meninggalkan Prancis untuk kembali ke Iran. Dan yang tak disangka-sangka, respon para tetangga tersebut sangat besar. Mereka berharap kepada Imam agar tidak meninggalkan kampung itu. Itu harapan mereka. Dan yang lebih mengherankan, mereka mengatakan “Hai Imam, janganlah engkau meninggalkan kami. Kami telah mendapatkan berkah lantaran engkau Imam.”

Begitu mengagumkan, umat beda agama mengharap agar si Imam menetap hidup bersama dengan mereka. Apa yang menyebabkan hal tersebut? Tidak lain adalah sikap toleransi Imam. Sikap toleransi itulah yang menjadikan kekaguman para tetangga kepada Imam. Penghormatan Imam terhadap umat beda agama menjadikan ia dicintai oleh umat beda agama. Lantas, akankah masih ada cerita-cerita seperti cerita Imam ini yang akan kita dengar di masa depan?

MAHASISWA UIN RAIH BERBAGAI PRESTASI INTERNASIONAL & NASIONAL


Auditorium, BERITA UIN Online – UIN Jakarta bekerja sama dengan Lazuardi Biru menganugerahi penghargaan bidang non akademik kepada para mahasiswa yang telah berprestasi pada tingkat nasional dan internasional sepanjang tahun 2012. Penghargaan mahasiswa berprestasi di berbagai bidang tersebut diberikan baik  dalam kategori perorangan maupun kelompok.
Acara pemberian penghargaan berlangsung di Auditorium Prof Dr Harun Nasution, Rabu (9/1).  Mereka selain menerima sertifikat juga berupa uang senilai antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta yang dipersembahkan Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Ciputat. Dalam waktu yang sama, juga digelar kuliah umum bertema “Pemuda dan Ancaman Kekerasan Atas Nama Agama” yang disampaikan Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Agil Siradj.
Rektor UIN Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat yang hadir dalam kesempatan itu sangat mengapreasiasi para mahasiswanya yang berprestasi. Menurut dia, penghargaan kepada para mahasiswa berprestasi layak diberikan karena mereka telah membawa nama harum kampus. “Saya bangga dengan mahasiswa UIN Jakarta yang berprestasi. Ini merupakan perhargaan bidang non akademik yang ketiga kalinya sejak tahun 2011,” katanya.
Rektor berharap ke depan akan lebih banyak lagi mahasiswa yang berprestasi, baik di bidang akademik maupun non akademik hingga mampu bersaing di tingkat nasional dan internasional. “Penghargaan tersebut juga tak lain untuk memotivasi mahasiswa agar terus meningkatkan kualitas, inovasi, dan kreativitas dalam segala bidang,” ujarnya.
Para mahasiswa berprestasi yang memperoleh penghargaan terdiri atas kategori perorangan dan kelompok. Untuk ketegori kelompok, penghargaan di antaranya diberikan kepada Marwah Fauziah Amri dan Nadya Imanda Sabran (mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/HI-FISIP) yang memperoleh juara I pada K-POP World Festival di Chongwon, Korea Selatan. Kemudian Halimatus Sa’diyah (mahasiswi Jurusan Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum) dan Viviana (mahasiswi Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin) yang memperoleh juara I pada 7th Perisai Diri International Championship di Samarinda, Kalimantan Timur. Lalu mahasiswa kelompok Paduan Suara Mahasiswa (PSM) yang memperoleh medali perak pada Grand Prix di Thailand.
Pada kelompok perorangan penghargaan diberikan kepada Ananda Raihan Afnan (mahasiswa Jurusan HI-FISIP yang memperoleh juara kedua pada The 7th Perisai Diri International Championship di Samarinda, Kalimantan Timur. Kedua, Muhammad Ali Ibrahim (mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora) yang memperoleh juara II pada Tapak Suci of Brawijaya University International Open Turnament.
Sedangkan pada kejuaraan nasional kategori kelompok, penghargaan pertama diberikan kepada Tim Kreator Nusantara Beta (Mirayanti, Jamal Masykur Aziz, Erlan Pratama) dari Fakultas Sains dan Teknologi yang memperoleh juara I pada Indosat IM2 Mobile Application Contest. Penghargaan kedua diberikan kepada Fathiyatur Rizkiyah dan Handeini Fajriyanti (mahasiswi Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas llmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi) yang memperoleh juara I pada Festival Seni Islam Nasional. Ketiga, Ahmad Faris, Junaidi, dan Ahmad Choiruzzikril (mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah) yang memperoleh juara II pada Olimpiade Debat Nasioal Debat Berbahasa Arab di UGM Yogyakarta.
Untuk kategori perorangan, pernghargaan diberikan kepada Eko Indrayadi (mahasiswa Jurusan Ilmu Politik FISIP) yang memperoleh juara I pada Kompetisi Debat Nasional Festival Desa Sejahtera, Chairunnisa (mahasiswi Jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) yang memperoleh juara I Pemuda Sukarelawan Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Sheren Utari (mahasiswi Jurusan HI-FISIP) yang memperoleh juara II pada Kejuaraan Taekwondo antaruniversitas di ITS Surabaya.
Selain dalam bentuk kejuaraan, penghargaan juga diberikan kepada para mahasiswa yang melahirkan karya inovatif dan kreatif. Mereka adalah Ade Wahyudi (mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan), pencipta Kamus Biologi Umum (Kambium) berbasis online, Choiril Chodri (mahasiswa Jurusan KPI-Fidkom), pembuat film dokumenter “Lentera Jawa” (The Passion of Dolalak), Nandang Sunandar (mahasiswa Jurusan Sistem Informasi FST), pemakalah pada International Conference on Computer Science (ICCSE) di kampus UGM Yogyakarta, Gita Muhammad Agusta (mahasiswa Jurusan Teknik Informatika FST), pemakalah pada International Conference on Advance Computer Science and Information Technology di kampus UI, dan Muhammad Ali (mahasiswa Jurusan Kimia FST), pemakalah pada Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia. (ns)