Bangsa Franken adalah nenek moyang bangsa
Perancis. Meski Perancis sekarang adalah salah satu negara maju,
seribu tahun yang lalu mereka masih amat biadab, terlebih dalam ilmu
pengobatan.
Bangsa Franken adalah peserta
terbanyak dalam tentara Salib yang menguasai Jerusalem dan sekitarnya kira-kira
seabad lamanya. Karena di wilayah sudah banyak penduduk muslim, maka
ada interaksi antara tentara Salib dan kaum muslim. Namun para jurnalis muslim
banyak menceritakan kisah mengerikan meski sekaligus aneh dan lucu di antara
tentara Salib.
Misalnya kisah dokter bernama Tsabit
bertugas di Libanon. Para pembesar pasukan salib tidak begitu yakin dengan cara
penyembuhan dokter-dokter Franken sendiri. Di ‘Negeri Suci’ ini, mereka, yang
menderita berbagai penyakit kulit, perut mulas dan diare, ternyata lebih senang
berobat kepada dokter-dokter muslim.
Suatu hari Tsabit pulang terlalu
cepat. Tsabit bercerita, “Kepadaku
didatangkan seorang prajurit dengan kaki bengkak bernanah, dan wanita yang
demam tinggi. Untuk si prajurit aku balutkan perban hingga
bengkaknya kempes dan berangsur membaik. Kepada wanita itu aku sarankan untuk
diet dan memperbaiki kondisi tubuhnya dengan ramuan dari bahan herbal.
Tiba-tiba
datanglah seorang dokter Franken dan berkata: ‘Ia tak tahu apa-apa untuk dapat
menyembuhkan mereka.’ Maka ia hampiri si prajurit dengan pertanyaan: ‘Pilih,
mana yang lebih kamu sukai, hidup dengan satu kaki, atau mati dengan dua kaki?’
Si prajurit menjawab: ‘Hidup dengan satu kaki.’ Maka berserulah sang dokter
Franken: ,Datangkan kepadaku seorang prajurit yang kuat dengan sebuah kampak
yang tajam!’ Seorang prajurit dengan sebuah kampak tajam pun muncul. Aku masih
berdiri di situ. Sang dokter lalu meletakkan kaki bengkak itu di atas sebuah
balok kayu dan memerintah si prajurit berkampak: ,Penggallah kaki itu dengan
sekali ayunan kampakmu!’ Tanpa ragu si prajurit menebaskan kampaknya sekali,
tapi ternyata kaki sakit itu belum juga terputus. Ditebaslah kaki itu
sekali lagi dengan kampak. Maka mengalirlah sungsum tulang di kaki terpenggal
itu. Dan prajurit yang malang itu pun tewas sejam kemudian.
Sang
dokter Franken beralih memeriksa wanita yang demam itu dan berkata: ‘Wanita ini
kesurupan jin yang jatuh cinta kepadanya. Potonglah rambut di kepalanya.’
Seseorang lalu memotong rambut wanita itu. Seterusnya wanita itu kembali lagi
makan hidangan ala negeri asalnya. Panas di tubuhnya meninggi. Sang
dokter berkata: ‘Jin di dalam tubuhnya telah naik di kepala.’ Bersamaan dengan
ucapan ini ia raih sebuah pisau cukur, ia sayat kulit kepala wanita itu
menyilang dan ia kelupas sebagian kulit kepala itu sedemikian rupa sampai
tulang tengkoraknya tampak jelas terlihat. Lalu ia taburkan sejumput garam pada
luka sayatan. Sejam kemudian wanita itupun tewas.
Aku
bertanya pada mereka: ‘Masih adakah tugas-tugas dari anda untukku?’ ‘Tidak.’
Karena itu pergilah aku, setelah aku ‘belajar’ cara penyembuhan mereka yang
aneh, yang sejauh ini belum pernah aku kenal.”
Itulah kisah Tsabit yang diceritakan
Amir Usamah ibnu Munkhid (1095 – 1188), seperti dikutip Sigrid Hunke dalam
bukunya “Allah Sonne ueber dem Abendland”.
Cerita di atas bukan propaganda
bermusuhan, juga bukan penghinaan dari lawan. Namun memang orang-orang Franken
itulah yang justru bersikap memusuhi umat Islam.
Seratus tahun kemudian, seorang
bangsawan Jerman yang pendek dan gemuk harus mati menyakitkan akibat ulah
penganut Kitab Tawarikh. Sebagai pengiring Kaisar Heinrich IV dalam rombongan
yang ke Italia, ia cemas, apakah tubuhnya yang berlemak itu dapat melewati
sulitnya medan dan panasnya cuaca Italia. Karena itu ia berkonsultasi pada
seorang dokter. Sang dokter ternyata langsung mengiris perut si bangsawan dan
mengeluarkan lemak di dalamnya. Sebuah metode yang radikal sama halnya dengan
yang dilakukan para dokter Franken.
Tidak ada sesuatupun cara pengobatan
Pasukan Salib, yang dapat diambil pelajaran. Tidak ada yang pantas
dipertahankan dari mereka di bidang kedokteran.
Di mana coba, di dunia saat itu
terdapat dokter-dokter bermutu seperti di dunia Islam? Di mana terdapat
perkembangan kedokteran yang begitu mekar seperti hasil pemikiran masyarakat
muslim ini? Adakah di lain tempat sistem sanitasi dan apothek? Bisakah rumah-rumah
sakit di mana pun di dunia saat itu menyamai canggihnya rumah-rumah sakit di
kota-kota Khilafah? Kemajuan metode pengobatan mereka seiring dengan riset yang
mereka lakukan. Masih adakah yang aneh, jika ternyata orang-orang Franken pun
meminta bantuan pengobatan kepada mereka?
Para biarawan di gereja-geraja Eropa
sering diminta umatnya memberi keajaiban penyembuhan, sebagaimana dulu al-Masih
melakukannya. Mereka menyembuhkan dengan usapan tangan, ritual
pengusiran iblis, dan doa bersama. Mereka menolak obat-obatan
apapun, baik yang dari tumbuhan, hewan maupun kimia, karena itu dianggap tanda
tipisnya iman kepada Tuhan.
“Ilmu
obat-obatan dalam segala bentuknya berasal dari tipu-daya yang sama,” — tuduh Tatian, seorang penginjil, atas orang-orang yang
percaya pada obat-obatan alami. “Bila
seseorang menggunakan obat yang ia percayai, maka ia tidak akan lebih banyak
disembuhkan, ketika ia sendiri melupakan Tuhan. Mengapa kamu tidak berserah
diri saja kepada Tuhan? Relakah kamu disembuhkan seperti anjing dengan rumput,
kijang dengan ular, babi dengan kepiting, singa dengan kera? Mengapa kau
pertuhankan hal-hal duniawi?”
Pengkhotbah Salib Bernhard von
Clairvaux (1090 – 1153), dengan tegas melarang para biarawan, yang sering sakit
karena kondisi udara yang buruk, untuk berobat pada dokter muslim dan
menggunakan obat, karena “tidak sepatutnya membiarkan kesucian jiwa berada
dalam bahaya melalui penggunaan obat-obatan duniawi.”
Paus Innocentius III dalam Konsili
Lentera pada 1215 menjadi kewajiban yang harus ditaati: Atas putusan dari
sebuah komite gereja, seorang dokter dilarang menangani pasien, sebelum si
pasien melakukan pengakuan dosa. Sebab penyakit itu berasal dari
dosa. Hal yang di abad-21 ini nyaris ditiru seorang Ustadz penyembuh
di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia.
Bandingkan situasi suram di Eropa itu
dengan sebuah surat dari seorang pengelana Eropa di dunia Islam.
“Ayahku!
Kau bertanya, apakah kau harus membawa uang untukku. Bila aku sudah sembuh dan
keluar nanti, rumah sakit akan memberiku pakaian baru dan lima potong emas,
sehingga aku tak harus langsung bekerja. Kau pun tak perlu menjual ternak
kepada tetangga. Tapi hendaknya kau segera datang, jika kau masih ingin
menemuiku di sini. Aku terbaring di bagian ortopedik, bersebelahan dengan saal
operasi. Bila kau datang melalui pintu masuk utama, berjalanlah lurus melalui
aula bagian selatan. Di situ ada poliklinik, tempat aku diperiksa pertama kali
setelah aku terjatuh. Di sana setiap pasien baru akan diperiksa oleh para
asisten dokter dan mahasiswa, dan jika seseorang dianggap tidak perlu
dirawat-nginap, maka ia akan segera diberi resep obat, yang dapat ditukarkan di
apotek rumah sakit. Setelah diperiksa di sana aku lalu didaftar, lalu diantar
menemui dokter kepala rumah sakit. Seorang perawat memapahku masuk ke bangsal
pria, memandikan tubuhku dan mengenakan pakain pasien yang bersih. Di sebelah
kiri kau dapat melihat perpustakaan, dan ruang kuliah besar berada di
belakangmu. Di situlah biasanya dokter kepala memberikan kuliah kepada mahasiswa.
Gang di sebelah kiri beranda adalah jalan menuju bangsal wanita. Kau harus
tetap mengambil jalan sebelah kanan, terus melewati bagian internis dan bagian
bedah. Bila kebetulan terdengar alunan musik dan lagu-lagu dari salah satu
kamar, cobalah tengok di dalamnya. Boleh jadi aku sudah berada di sana, di
sebuah ruang khusus untuk para pasien yang sudah sembuh. Di situ kita dapat
membaca buku-buku sambil menikmati alunan musik sebagai hiburan. Pagi tadi,
ketika dokter kepala bersama para asisten dan perawat dalam kunjungan
kelilingnya menjenguk dan memeriksaku, kepada dokter yang merawatku ia
mengatakan sesuatu, yang tak aku pahami. Maka ia lalu menjelaskan kepadaku,
bahwa besok pagi aku sudah boleh bangun dan meninggalkan rumah sakit. Keputusan
yang sebenarnya belum aku inginkan. Rasanya aku masih ingin tinggal
di sini lebih lama lagi. Di sini semuanya begitu bersih dan terang.
Tempat-tempat tidurnya empuk, sepreinya terbuat dari kain damas putih dan
selimutnya lembut seperti beludru. Dalam setiap kamar tersedia aliran air, yang
akan dihangatkan bila malam yang dingin tiba. Hampir tiap hari disuguhkan
masakan daging unggas atau domba panggang, yang sangat cocok bagi kondisi perut
para pasien. Pasien di sebelahku telah dengan sengaja selama seminggu pura-pura
masih sakit, hanya agar ia masih bisa menikmati kelezatan gorengan ayam dalam
beberapa hari lagi. Tapi dokter kepala mengetahui hal itu. Karena itu ia pun
disuruh segera pulang. Namun untuk menunjukkan bahwa pasien itu sudah
benar-benar pulih kesehatannya, ia masih dibolehkan sekali lagi menyantap
hidangan roti keju dan ayam panggang. Nah, ayah, datanglah, sebelum
daging ayam terakhir untukku dipanggang!”
Situasi sebagaimana yang digambarkan
dalam surat di atas tentu tak perlu diragukan, andai itu ditulis pada abad
ke-21 ini. Namun surat itu menggambarkan fasilitas dan pelayanan salah satu
rumah sakit 1000 tahun yang lalu, yang ada di kota-kota besar Khilafah, yang
membentang antara Himalaya di India dan Pyrenia di Perancis. Cordoba sendiri
pada pertengahan abad ke-10 sudah mempunyai 50 rumah sakit. Pada jaman Harun
Al-Rasyid, Baghdad sudah memiliki banyak rumah sakit terkenal. Di
situlah diterapkan ilmu kedokteran yang tidak lagi dari berasal dari takhayul,
tetapi yang telah melalui percobaan ilmiah (kedokteran experimental).
sumber: http://famhar.multiply.com
Oleh: Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar (Peneliti LIPI)