Sudah melalui hampir 100 tahun, tapi nama Kartini tak lekang dimakan zaman. Dia, memang meninggal dalam usia yang masih relatif muda—25 tahun. Tetapi, seakan ia hidup berpuluh-puluh tahun dan menginspirasi banyak orang. Ia seperti ibu-ibu sepuh, yang karena jasanya menginspirasi, semua orang akhirnya mengenangnya. Ia layaknya Cut Nyak Dien, pahlawan yang terjun dalam peperangan, sehingga negara patut menggelarinya Pahlawan Kemerdekaan. Tapi, ia sesungguhnya adalah gadis yang masih sangat belia—25 tahun.
Kartini, orang menyebutnya sebagai tokoh emansipasi, tokoh pejuang perempuan yang mencoba melawan tembok budaya yang mendiskreitkan kaum hawa. Benar, bahwa ia adalah pejuang bagi kaumnya di zaman itu; ia membangun sekolah untuk perempuan-perempuan desa yang terkungkung aturan budaya. Sehingga orang menggelarinya tokoh emansipasi. Tapi, Kartini adalah lebih dari itu.
Kartini, bukan hanya masalah konde dan kebaya, bukan melulu masalah emansipasi, bukan pula hanya perihal perempuan. Tapi lebih dari itu, Kartini adalah simbol kemerdekaan-kebebasan, bukan hanya bagi kaum wanita, tapi juga untuk semua orang. Ia adalah simbol kemerdekaan-kebebasan dari kungkungan lingkungan dan zaman. Ia adalah simbol perjuangan—perjuangan memajukan masyarakat, bukan hanya memajukan wanita. Ia adalah simbol dari penghormatan terhadap harga diri. Kartini, adalah simbol dari kejantanan, bukan melulu feminisme, karena memang sejatinya ia adalah pejuang.
Sekarang, setiap tahun ia dikenang dengan berbagai cara, tapi berapa banyak yang terpikir untuk meneruskan perjuangannya—perjuangan terhadap masalah-masalah kebangsaan. Semua orang, patut terinspirasi oleh kartini, karena ia bukan hanya milik perempuan, tapi milik bangsa Indonesia.
Jika saja, kita mau meneladaninya, pastilah “Terang” itu akan tercapai. Ia tidak hanya akan terbit dan hilang berganti gelap lagi. Tapi, “Terang” itu akan selalu menemani kita—Bangsa Indonesia.
Kartini, adalah simbol perjuangan untuk manusia (laki-laki dan perempuan) Indonesia masa kini—perjuangan melawan korupsi. Karena mamang, korupsi adalah pengkhianatan terhadap bangsa, salah satu bentuk penindasan halus terhadap kesejahteraan bangsa. Betapa tidak? Uang rakyat itu digondol dengan seenaknya. Dan, setelah kepergok korupsi, koruptor-koruptor itu sekalipun tak pernah memohon maaf pada rakyat Indonesia.
Kartini, adalah simbol perjuangan menyejahterakan masyarakat. Bagaimana tidak? Gadis belia itu mampu mendidik kaum perempuan untuk berposisi sejajar, walau dalam kungkungan.
Kartini, adalah simbol perjuangan terhadap harga diri—bahwa perempuan juga mampu dan patut dihargai. Begitu pula Indonesia kini, sudah seharusnya kita menunjukkan harga diri kita atas bangsa lain, dengan berbagai prestasi.
KARTINI MASA KINI
Perempuan Indonesia masa kini, patutkah mereka disebut Kartini masa kini? Ya, untuk sebagian perempuan-perempuan Indonesia, dan tidak bagi sebagian lain.
Ya, betapa banyak sosok wanita pejuang tulang punggung keluarga, bekerja menghidupi anak-anaknya, layaknya bapak sebagai kepala keluarga. Ya, begitu banyak perempuan-perempuan yang berprestasi mengharumkan nama bangsa. Ya, banyak pula perempuan-perempuan peduli sosial, yang ikut andil dalam usaha menuju “Terang.”
Tidak, begitu banyak perempuan-perempuan yang tak sengaja menurunkan harga diri mereka—yang sedari dulu diperjuangkan Kartini. Bahkan, koruptor-koruptor wanita tidaklah sedikit. Budaya-budaya negarif ibu-ibu arisan, PSK, dan sebagainya. Belum lagi, ibu-ibu yang bangga dengan status “ibu rumah tangga” dan “nyonya besar.” Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap perempuan, itu semua tidaklah patut bagi mereka kaum perempuan.
Benar, bahwa perempuan adalah kunci kesuksesan bangsa. Dari rahim mulianya, berbagai macam manusia terlahir. Mereka yang telah mengubah dunia. Itulah kesadaran yang harus ditumbuhkan, terkhusus bagi wanita. Dan benar pula, perempuan adalah kunci kehancuran bangsa, dari mereka tercontoh perilaku-perilaku negatif. Kemanakah Kartini masa kini?
Lihatlah, artis-artis sekarang, apa yang hendak mereka tulis? Inspirasikah? Tidak itu jawabannya. Mereka bersolek, menyuguhkan segala hal yang tak patut. Bukan, mereka bukan Kartini, Kartini bukan “wanita murahan” seperti mereka. Anak muda sekarang, berapa banyak yang menginspirasi? Kebanyakan mereka hanya disibukkan dengan rutinitas tanpa guna; pacaran, fashion-shopping, fb-an twitteran dan nongkrong. Bukan, mereka bukan Kartini, Kartini “tak sebodoh dan serendah” itu. Jika Kartini bisa hidup kembali, mungkin ia akan memarahi mereka dan menyadarkan mereka.
———
Pemikiran Kartini, adalah bagian dari nilai-nilai luhur kebangsaan—perjuangan. Tak perlu berkebaya untuk menjadi Kartini, wanita berjubahpun bisa. Tak perlu berkonde untuk menjadi Kartini, wanita berkerudungpun mampu.
“Habis gelap, terbitlah terang,” tapi, “terang” itu tak akan kembali tergantikan dengan “gelap” lagi, hingga kita harus menunggu “terang” itu kembali terbit. Tidak! Terang itu akan menjadi hari-hari yang menemani bangsa ini.
Untuk penguasa, Selamat Hari Kartini. Jadilah kalian pejuang bagi hak-hak, kesetaraan dan kesejahteraan kami.
Untuk ibu-ibu, Selamat Hari Kartini. Jadilah kalian Kartini yang sebenarnya, di tangan kalian lahir pejuang-pejuang bangsa.
Untuk para pemuda-pemudi, Selamat Hari Kartini. Jadilah kalian Kartini masa kini yang menginspirasi. Karena Ibu Kartini adalah pemudi belia, sama seperti kita, dan kita patut menjadi sepertinya.
SELAMAT HARI KARTINI, BAGI BANGSA INDONESIA!
Khoirul Umam, FUF, BM 2011
www.uinjkt.ac.id
www.uinjkt.ac.id