Kita semua sudah tahu banget apa saja yang tersuguh di layar kaca yang kita pelototin setiap harinya. Berbagai tayangan ada. Kita ambil contoh iklan. Periklanan di televisi kita tahu sendiri, merek apapun ditayangkan, dengan berbagai model pembawaan iklan, erotis dan asusila. Pemilik televisi pun masa bodoh dampak dari iklan yang ditayangkan. Tak berpikir apa yang akan merasuk ke dalam otak-otak pemirsanya.
Dari penayangan iklan-iklan erotis dan asusila itu akan membentuk pola pikir masyarakat (lebih-lebih pemuda) menjadi otak-otak ngeres dan jorok, entah disadari atau tidak.
Belum lagi penayangan sinetron yang tidak berisi nilai-nilai edukasi. Banyak kita jumpai sinetron-sinetron yang tak jelas jeluntrungnya (bahasa Jawa: tak jelas arahnya). Kekerasan, erotisme, asusila, dan sebagainya ditampilkan semua, demi keuntungan materi.
Memang, semua kembali pada diri masing-masing, tapi apakah kita tidak pernah berpikir mengenai dampak –sekecil apapun— dari penayangan-penayangan tersebut? Para pemilik stasiun televisi sungguh membingungkan, apakah mereka tak mengetahui kerugian moril dari semua itu? Atau memang belagak bodoh? (yang akhirnya membuat mereka benar-benar bodoh).
Membingungkan juga, mengapa Komisi Penyiaran Indonesia meloloskan semua tayangan-tayangan tanpa nilai tersebut. Semua seakan dihantui oleh keuntungan materi belaka.
(Khoirul Umam, FUF, BM 2011)
(Khoirul Umam, FUF, BM 2011)