Auditorium Harun Nasution, BERITA UIN Online— Adalah Muhtar
Mochamad Solihin (25) dan Khaidir Ali (22). Keduanya merupakan dua
wisudawan terbaik pada wisuda sarjana ke-94 UIN Jakarta dari Program
Bidik Misi. Masing-masing mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
3.93 dan 3.86. Oleh karena itu pula, keduanya ditabalkan sebagai sebagai
dua dari 11 wisudawan terbaik di tingkat universitas pada jenjang
pendidikan sarjana Strata Satu (S1).
Sebelum ditetapkan sebagai wisudawan
terbaik universitas, Uwir Rehands, panggilan akrab Mochamad Solihin,
adalah alumni terbaik Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM). Ia
juga lulusan terbaik dari Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI).
Menurut anak bungsu pasangan Ta’ad dan
Sumiyati ini, dirinta berasal dari keluarga ekonomi lemah. “Ayahnya
susdah lama sakit, sehingga tidak bisa bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi rumah tangga, ibuku yang bekerja,” ujar Uwais sebelum mengikuti
acara wisuda, di Gedung Rektorat, Ahad (2/11/2014).
Lantaran kuat untuk mengubah nasib
keluarga, anak keenam dari enam bersaudara ini pun bertekad melanjutkan
pendidikan tinggi usai lulus SMA. Dengan modal beragam prestasi di
sekolahnya, Uwair pun mencoba peruntungan kuliah di UIN Jakarta melalui
program Bidik Misi.
“Kita tidak salah dilahirkan menjadi
orang miskin, yang salah adalah ketika kita diwafatkan dalam keadaan
miskin”. Bagi saya miskin itu nasib dan bisa diubah sebagaimana Allah
mengatakan dalam al-Ra’d ayat13,” katanya yakin.
Dengan keyakinan itu, Ketua Umum Pertama
sekaligus salah satu pendiri Forum Mahasiswa Bidikmisi (FORMABI) UIN
Jakarta ini membuktikan keyakinannya itu. Setelah melalui serangkaian
tes, Uwair, yang juga mantan aktivis Anggota Rohani Islam (Rohis)
As-Shalihin SMA Negeri 1 Subang lulus diterima sebagai mahasiswa
penerima Bidik Misi.
Setelah menjadi mahasiswa, Uwair pun
sibuk di sejumlah kegiatan. Selain kuliah, ia juga anggota Divisi
Rekrutment Crew DnK TV FDK UIN Jakarta, dan Ketua Menteri Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) HMJ-BPI pada 2011–2012 , dan beberapa kegiatan
lain.
Dengan sebrek kegiatan itu, maka
beasiswa yang didapatnya pun tak mencukupi kebutuhan hidup di kota
metropolitan. Untuk menutup kekurangan keungan, tak jarang ia pinjam
sana-pijam sini dari beberapa temananya.
“Banyak orang beranggapan, sangat enak
menjadi saya dan teman-teman seperjuangan Bidik Misi lainnya yang
mendapatkan beasiswa ini. Padahal kami katakan sukanya hanya berkisar
30% dan dukanya 70%. Sukanya, kami bisa merasakan mengenyam pendidikan
dan menambah jejaring pertemanan di perguruan tinggi,” paparnya.
Uwair menambahkan, dengan beasiswa itu
tidak serta merta kebutuhan akademik dan pribadi tercukupi. Pasalnya,
pencairan dana beasiswa untuk living cost (biaya hidup) selama kuliah 4
tahun sering macet dan tidak pernah tepat waktu. “Ini duknya,”
tegasnya.
Selain meminjam uang kolegnya, ia pun sering ikut kerja part time di berbagai tempat, agar kuliah dan aktivitas terus berjalan.
“Sering pula ketika saya betul-betul
tidak bisa mendapatkan pinjaman uang, saya mencari informasi lokasi
syuting film/sinetron/iklan untuk sekedar bisa mendapatkan makan dan
uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehari-semalam hanya
mendapatkan Rp 35.000-75.000. Saya sangat bersyukur karena selain
pengalaman bertambah, saya pun bisa menyambung hidup lebih lama,”
tuturnya.
Kini setelah lulus, Uwair ingin
melajutkan jenjang magister dan membantu ekonomi keluarga. Ia tak
berharap pekerjaan ayahnya sebagai penjual es keliling dan ibunya
penjual bubur kacang ijo dialami oleh saudara-saudaranya. “Stelah ini,
saya ingin jado dosen dan wirausaha sehingga bisa membantu masyarakat,”
tandanya.
Tak beda dengan Uwair, Khaidir adalah
satu dari jutaan anak negeri yang mendapatkan nasib sebagai keluarga
ekonomi lemah. Ayahnya, Murais, kerja serabutan. Sedangkan ibunya,
Wanih, adalah penjual kue ketan. Anak bungsu yang juga menjadi
mahasantri di Pesantren Tinggi Hadis Daruss Sunah, ini adalah wisudwan
terbaik di fakultasnya, Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI)
Ketika mau kuliah di UIN Jakarta, anak
keenam dari enam bersaudara ini hanya menuruti nasehat dan saran ustadz
di pesantrennya. Tapi berpikir lama, ia pun mendaftar. “Alhamdulillah, saya diterima di Fakultas Dirasat Islamiyah. Sebelumnya, saya tidak tahu ini fakultas apa,” akunya.
Menurut laki-laki kelahiran Bekasi, 8
Agustus 1992, kuliah di FDI banyak memberikan dahaga ilmu-ilmu dasar
keislaman. “Tak kuduga kuliah di Fakultas Dirasat itu luar biasa
lho….Di sini aku bertemu dengan ratusan mahasiswa dari berbagai suku
dengan bahasa yang berbeda-beda,” paparnya.
Ia pun bersyukur, kuliah di fakultas ini bertemu dengan para calon ulama dunia. “Semua mahasiswa wajib bisa ngomomg bahasa Arab kayak orang Arab asli. Ketika saya kumpul dengan mereka seolah saya lagi bersama dengan para (calon) ulama,” pungkasnya. (Saifudin)
sumber: Berita UIN Online (http://uinjkt.ac.id/index.php/arsip-berita-utama/2890-dua-wisudawan-terbaik-ini-penerima-bidik-misi.html)