Minggu, 02 November 2014

Dua Mahasiswa Bidikmisi Jadi Wisudawan Terbaik pada Wisuda ke-94


Auditorium Harun Nasution, BERITA UIN Online— Adalah Muhtar Mochamad Solihin (25) dan Khaidir Ali (22). Keduanya merupakan dua wisudawan terbaik pada wisuda sarjana ke-94 UIN Jakarta dari Program Bidik Misi. Masing-masing mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.93 dan 3.86. Oleh karena itu pula, keduanya ditabalkan sebagai sebagai dua dari 11 wisudawan terbaik di tingkat universitas pada jenjang pendidikan sarjana Strata Satu (S1).

Sebelum ditetapkan sebagai wisudawan terbaik universitas, Uwir Rehands, panggilan akrab Mochamad Solihin, adalah alumni terbaik Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM). Ia juga lulusan terbaik dari Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI).

Menurut anak bungsu pasangan Ta’ad dan Sumiyati ini, dirinta berasal dari keluarga ekonomi lemah. “Ayahnya susdah lama sakit, sehingga tidak bisa bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, ibuku yang bekerja,” ujar Uwais sebelum mengikuti acara wisuda, di Gedung Rektorat, Ahad (2/11/2014).

Lantaran kuat untuk mengubah nasib keluarga, anak keenam dari enam bersaudara ini pun bertekad melanjutkan pendidikan tinggi usai lulus SMA. Dengan modal beragam prestasi di sekolahnya,  Uwair pun mencoba peruntungan kuliah di UIN Jakarta melalui program Bidik Misi.

“Kita tidak salah dilahirkan menjadi orang miskin, yang salah adalah ketika kita diwafatkan dalam keadaan miskin”. Bagi saya miskin itu nasib dan bisa diubah sebagaimana Allah mengatakan dalam al-Ra’d  ayat13,” katanya yakin.

Dengan keyakinan itu, Ketua Umum Pertama sekaligus salah satu pendiri Forum Mahasiswa Bidikmisi (FORMABI) UIN Jakarta ini membuktikan keyakinannya itu. Setelah melalui serangkaian tes, Uwair, yang juga mantan aktivis Anggota Rohani Islam (Rohis) As-Shalihin SMA Negeri 1 Subang lulus diterima sebagai mahasiswa penerima Bidik Misi.

Setelah  menjadi mahasiswa, Uwair pun sibuk di sejumlah kegiatan. Selain kuliah, ia juga anggota Divisi Rekrutment Crew DnK TV FDK UIN Jakarta, dan Ketua Menteri Penelitian dan Pengembangan (Litbang) HMJ-BPI  pada 2011–2012 , dan beberapa kegiatan lain.

Dengan sebrek kegiatan itu, maka beasiswa yang didapatnya pun tak mencukupi kebutuhan hidup di kota metropolitan.  Untuk menutup kekurangan keungan, tak jarang ia pinjam sana-pijam sini dari beberapa temananya.

“Banyak orang beranggapan, sangat enak menjadi saya dan teman-teman seperjuangan Bidik Misi lainnya yang mendapatkan beasiswa ini. Padahal kami katakan sukanya hanya berkisar 30% dan dukanya 70%. Sukanya, kami bisa merasakan mengenyam pendidikan dan menambah jejaring pertemanan di perguruan tinggi,” paparnya.

Uwair menambahkan, dengan beasiswa itu tidak serta merta kebutuhan akademik dan pribadi tercukupi. Pasalnya, pencairan dana beasiswa untuk living cost (biaya hidup) selama kuliah 4 tahun sering  macet dan tidak pernah tepat waktu. “Ini duknya,” tegasnya.
Selain meminjam uang kolegnya, ia pun  sering ikut kerja part time di berbagai tempat, agar kuliah dan aktivitas terus berjalan.

“Sering pula ketika saya betul-betul tidak bisa mendapatkan pinjaman uang, saya mencari informasi lokasi syuting film/sinetron/iklan untuk sekedar bisa mendapatkan makan dan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehari-semalam hanya mendapatkan Rp 35.000-75.000. Saya sangat bersyukur karena selain pengalaman bertambah, saya pun bisa menyambung hidup lebih lama,” tuturnya.

Kini setelah lulus, Uwair ingin melajutkan jenjang magister dan membantu ekonomi keluarga. Ia tak berharap pekerjaan ayahnya sebagai penjual es keliling dan ibunya penjual bubur kacang ijo dialami oleh saudara-saudaranya. “Stelah ini, saya ingin jado dosen dan wirausaha sehingga bisa membantu masyarakat,” tandanya.

Tak beda dengan Uwair, Khaidir adalah satu dari jutaan anak negeri yang mendapatkan nasib sebagai keluarga ekonomi lemah. Ayahnya, Murais, kerja serabutan. Sedangkan ibunya, Wanih, adalah penjual kue ketan. Anak bungsu yang juga menjadi mahasantri di Pesantren Tinggi Hadis Daruss Sunah, ini adalah wisudwan terbaik di fakultasnya, Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI)

Ketika mau kuliah di UIN Jakarta, anak keenam dari enam bersaudara ini hanya menuruti nasehat dan saran ustadz di pesantrennya. Tapi berpikir lama, ia pun mendaftar. “Alhamdulillah, saya diterima di Fakultas Dirasat Islamiyah. Sebelumnya, saya tidak tahu ini fakultas apa,” akunya.

Menurut laki-laki kelahiran Bekasi, 8 Agustus 1992, kuliah di FDI banyak memberikan dahaga ilmu-ilmu dasar keislaman. “Tak kuduga kuliah di Fakultas Dirasat  itu luar biasa lho….Di sini aku bertemu dengan ratusan mahasiswa dari berbagai suku dengan bahasa yang berbeda-beda,” paparnya.

Ia pun bersyukur, kuliah di fakultas ini bertemu dengan para calon ulama dunia. “Semua mahasiswa wajib bisa ngomomg bahasa Arab kayak orang Arab asli. Ketika saya kumpul dengan mereka seolah saya lagi bersama dengan para (calon) ulama,” pungkasnya. (Saifudin)

sumber: Berita UIN Online (http://uinjkt.ac.id/index.php/arsip-berita-utama/2890-dua-wisudawan-terbaik-ini-penerima-bidik-misi.html)